Dua hari belakangan ini aku selalu terpikirkan untuk menulis sebuah “sekolah” yang telah mendidikku di luar sekolah. Ini menimbulkan stimulus agar menjadikannya (baca: sekolah) keyword di CatHar hari ini. Banyak sebenarnya yang ingin aku tuliskan mengenai “sekolah” satu ini, akan tetapi karena keterbatasan daya ingat, harus diminimalisir juga agar tidak berbicara “overclock” nantinya, sembari menjaga pertanggung jawaban di hari kemudian. “Sekolah” tersebut bernama PII atau tepatnya lagi Pelajar Islam Indonesia, semoga teman-teman menikmati keyword kali ini.
Pelajar Islam Indonesia (PII), merupakan–sebagaimana dikutip bang Djayadi Hanan dalam bukunya “Gerakan Pelajar Islam di Bawah Bayang-bayang Negara” dari M.Rusli Karim- organisasi pelajar tertua setelah kemerdekaan Indonesia, bergerak di bidang sosial-pendidikan dan dakwah, lahir di Yogyakarta, 4 Mei 1947. Pendirian organsiasi ini dilatar belakangi oleh motivasi keagamaan dan motivasi kebangsaan. Ayat al-Quran yang menjadi rujukan adalah Surat Ali Imran [3] : 104 yang artinya “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Sedang motivasi kebangsaan terlihat dari gerakan PII sebagai organisasi yang lahir di masa mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Di sini PII telah menunjukkan komitmennya yang besar terhadap keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Andil PII terhadap Negara ini terbukti dengan adanya amanat almarhum Jenderal Soedirman (Panglima Besar Angkatan Perang RI) pada resepsi Hari Bangkit (HARBA) I PII, 4 Mei 1948-PII memperingati hari lahirnya dengan istilah HARBA bukan Hari Ulang Tahun HUT- yang bunyinya:
“...Saya ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada anak-anakku PII, sebab saya tahu bahwa telah banyak korban yang telah diberikan oleh PII kepada negara... Teruskan perjuanganmu, hai anak-anakku Pelajar Islam Indoneisa. Negara kita adalah negara baru, di dalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan rintangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia”.
Juga, Presiden Soeharto ikut mengakui peran PII dalam sambutannya pada peringatan Isra’ Mi’raj yang diselenggarakan PB PII di Jakarta tanggal 13 September 1966:
“Saya mengenal PII sebagai satu organisasi pemuda pelajar yang saat-saat tenaganya dibutuhkan oleh bangsa dan revolusi, selalu tergolong yang pertama-tama tampil ke depan dengan semangat juang dan berkorban yang tinggi disertai rasa tanggungjawab yang besar. Indonesia pada waktu sekarang tidaklah hanya membutuhkan warga negara yang cerdas otaknya dan kuat badannya tetapi yang lebih penting daripada itu aialah kita membutuhkan warga negara yang mempunyai i’tikad baik, mau bekerja sungguh-sungguh, jujur, dan tinggi mentalnya. Kami yakin, dengan agama Islam sebagai dasar dan titik tolak pemikiran, maka PII tentu akan merupakan potensi yang ampuh dalam mengamankan Pancasila dalam usahanya menyelamatkan revolusi dan menegakkan keadilan dan kebenaran”.
Demikianlah cuplikan singkat mengenai PII, untuk lebih mengenal kembali mungkin buku “Gerakan Pelajar Islam di bawah bayang-bayang Negara” karangan Bang Djayadi Hanan dan buku “Warna-warni PII” dari JSP PII dapat membantu.
Masih segar dalam ingatanku, ketika pertama kali aku mengenal “sokolah” PII ini. Kala itu, di Pondok Pesantren Ngabar Ponorogo, tahun 2000 Pengurus Pusat Pelajar Islam “Wali Songo” (P3IWS) –di tahun 2003 berganti nama menjadi Organisasi Santri Wali Songo (OSWAS)-, yang dulunya merupakan basis PII daerah Ponorogo, mengadakan program BIB (Belajar Islam Bersama). Banyak materi yang diberikan namun yang teringat olehku hingga saat ini adalah materi “Security” yang memiliki prinsip “Buka mata Lebar-lebar, buka telingan lebar-lebar dan tutup mulut rapat-rapat”. Di BIB ini kak Adli Nurzaka sebagai instruktur memperkenalkan PII kepada para peserta termasuk aku.
Empat tahun berlalu, PII sudah jarang sekali terdengar di telinga para santri “Wali Songo”, hal ini dikarenakan sistem pondok yang telah lama melepaskan diri dari PII dengan dalih independensi institusi, dan telah lulusnya para kader-kader PII dari pesantren. Padahal harus diakui bahwa, majunya gerakan organisasi santri Pondok Pesantren Wali Songo (PPWS) waktu itu adalah jasa dari para kader-kader PII yang menyumbangkan ide-ide pemikiran yang progresif dan kritis. Bahkan, di sela-sela acara ceremonial OSWAS –yang waktu itu saya pimpin- Pimpinan Pondok Bapak, K.H Zainudin As, Lc mengakui andil PII dalam membangun struktur kepengurusan masjlis riyasatil ma’had (MRM) (?)–setingkat MPR kalau di Pemerintahan Indonesia- di masa-masa awal berdirinya lembaga tersebut.
Beliau (pimpinan pondok) –waktu itu masih ustadz pengajar- sempat meminta bantuan ke kyai Pondok Modern Gontor untuk memberikan solusi mengenai format struktur kepengurusan MRM, akan tetapi pihak Gontor menganjurkan agar berkonsultasi dengan sesepuh-sesepuh yang ada di Wali Songo, akhirnya beliaupun pulang tanpa membawakan hasil. Sehingga teringatlah olehnya akan organisasi pelajar di PPWS yang kala itu tidak lain adalah Pelajar Islam Indonesia.
Tahun 2004 dimana aku masih duduk di kelas V tarbiyatul muallimin PPWS, OSWAS berada dalam kondisi yang kritis, dan dibilang jauh dari sebuah organisasi. Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi Sebuah Pengantar menuliskan, “...Organisasi sudah dibentuk, maka diasumsikan akan merupakan suatu identitas tersendiri yang khusus. Hidup organisasi biasanya lama, walaupun terjadi perubahan-perubahan tapi tanpa mengubah identitas yang menjadi strukturnya. Usaha-usaha kolektif para anggota organisasi disebut sebagai melakukan hal-hal yang bersifat formal, karena didasarkan pada organisasi yang memperjuangkan kepentingan bersama. Unsur-unsur organisasi merupakan bagian-bagian fungsional yang berhubungan”. Sedang para pengurus OSWAS waktu itu jarang sekali yang memahami hal ini, bahkan OSWAS hanya dianggap sebagai wadah “kekuasaan” santri agar terbebas dari aturan pondok. Walaupun ada aktifitasnya, kala itu hanyalah “turunan” atau warisan dari periode sebelumnya. Hanya itu.
Melihat kondisi ini, aku pun mulai membuka-buka beberapa arsip yang tersisa di ruang Badan Pengurus Harian (BPH) OSWAS. Di sanalah aku menemukan, beberapa literatur mengenai PII, surat-surat berkopkan PII, juga tidak ketiggalan stempel Pengurus Daerah Istimewa (PDI-PII) Ngabar. Semakin lama aku membaca arsip tersebut, semakin dalam rasa ingin tahuku akan PII itu sendiri.
Karena rasa ingin tahu mengenai PII, aku bersama temanku Aditia Prahmana pergi ke Pengurus Wilayah PII (PW-PII) Jawa Timur di Surabaya, kebetulan waktu itu lagi liburan pesantren dan kami mengikuti acara konsulat jawa timur –sebuah organisasi kedaerahan yang ada di PPWS- di Sidoarjo. Di sela-sela persiapan acara konsutlat aku dan Aditia pergi ke kota Surabaya untuk mencari markas PW-PII Jawa Timur yang terletak di Jalan Kupang PanjaanV/14. Walau agak susah mencari letak pastinya, maklum baru pertama keliling daerah Surabaya, akhirnya aku menemukan sebuah bangunan dua tingkat yang waktu itu masih belum sempurna dengan plang besar di depannya “PW-PII Jawa Timur”.
Aku dan temanku masuk ke dalam bangunan tersebut, di dalamnya kami bertemu dengan Kak Ali, yang ternyata alumni PPWS –mantan P3IWS- yang sepertinya masih aktif di PII Jatim, kemudian tidak lama datang pula Ketua Umum PW-PII Jatim Bang Resapugar yang beberapa hari lagi mau domisioner. Dari sini obrolan kami dimulai tentang PII dan status PDI-PII Ngabar. Apakah PW-Jatim masih mengakui PDI-PII Ngabar sebagai basis PII? Ternyata jawabannya seperti yang aku duga sebelumnya, hingga periode Resapugar 2002-2004 Ngabar masih tercatat sebagai Pengurus Daerah. Dapat ditarik kesimpulan, di sini ternyata kader-kader PII Ngabar selama ini menjadi “anak nakal” di PPWS, sebagaimana PII menjadi “anak nakal” di rezim Orde Baru.
Awal obrolan dengan Bang Resapugar membuatku menjadi “anak nakal”, termasuk teman-teman pengurus angkatanku. Hingga suatu ketika ada surat masuk ke bagian administrasi pesantren –mungkin karena waktu itu para asatidznya juga mantan PII jadi lolos sensor- dari PD-PII Kertosono (?) untuk mengikuti Basic Traning (BATRA) di Kertosono. Kali ini aku pergi bersama Mu’tashim El-Mandiri ke Kertosono untuk mengikutinya. Karena waktu yang kurang tepat –berdekatan dengan hari raya idul fitri- sehingga BATRA pun dibatalkan, -yah, mungkin belum ada kesempatan- akan tetapi ada penawaran dari instruktur, waktu itu Bang Syarifudin Lathif dan Bang Fajar Hanif Wirawan, untuk mengikuti Pra Batra di Ngawi.
Aku dan Elman akhirnya berdiskusi untuk mengikuti pra Batra tersebut, karena status kami santri “kabur” akhirnya aku memutuskan untuk tetap ke Ngawi sedang El-man pulang untuk “mengamankan” situasi di pesantren. Dari Pra Batra yang berlangsung tiga hari tiga malam itulah, aku mulai mengenal PII, dimana PII juga mengenalkanku lebih dalam mengenai ukhuwah, organisasi dan beberapa materi-materi yang sangat berarti lainnya.
Beberapa bulan setelah Pra Batra, datang lagi surat masuk dari PW-PII Jatim dengan agenda RAPIMWIL plus Batra dan Intra di Pare-Kabupaten Kediri, tanggal 20-27 Januari 2005. Satu hari sebelum RAPIMWIL di Pare, Aku dan Heru Santoso (juga teman satu kepengurusan di OSWAS) mulai mengatur siasat untuk keluar pesantren, disamping aku juga mempersiapkan dua kader, Susantri dan Syarifudin, yang akan diutus mengikuti traning setelah RAPIMWIL. Akhirnya kami berempat pergi jam 03.00 pagi dengan mengambil bus jurusan Treanggalek kemudian diteruskan dengan bus jurusan Kediri. Aku dan Heru hanya mengikuti Rapimwil saja karena waktunya bertepatan dengan ujian kelulusan kelas VI (3 Aliyah) -padahal ingin sekali mengikuti Traning waktu itu- sedang untuk Batra, Susantri dan Syarifudin, yang menjadi utusan PD Ngabar. Lagi-lagi belum ada kesempatan Batra.
Hingga tahun 2006, setelah aku menjadi mahasiswa di Universitas Al-Azhar, barulah aku, El-Man dan Heru Santoso dapat mengikuti Batra dari PWI.PII Mesir –setelah Muknas di Pontianak(?) menjadi Pwk.PII Mesir-, yang ketua umumnya Bang Auli ul-Haq Marzuki dari Aceh. Dari awal Basic ini aku mulai aktif di PII, tidak lagi berada di “bawah tanah”.
Aku lebih banyak intens di PII mungkin ketika aku berinteraksi dengan orang-orang Pwk.PII Mesir periode 2006-2008. Dimana Saudara Rashid Satari (panggilan akrab Bang Ochid) menjadi ketua terpilih dalam Konferensi Wilayah ke V di Wisma Nusantara. Di periode tersebut, aku diamanahi menjadi Biro Kesekretariatan PII sehingga harus tinggal di sekretariat. Dari sini aku banyak mengenal para instruktur pun teman-teman PII yang unik, seperti Udo Yamin Efendi, Ahmad Tirmidzi Lc. Dpl, Hamzah Amali, Rashid Satari, Gana Pryadarizal Anaedi Putra, Irsyad Azizi, Zulfi Akmal, Teguh Hudaya, Aulia ul Hak Marzuki, Aidil Susandi, Feri Ramadhansyah, Zainal Mukhlis, Erqin, Irfan Prima Putra, Agus Solehudin, Agus TR, Fery Firmansyah, Asep Sofyan (Ogay), Irfan Fathina, Yunan, teh Uci, teh Shofi, Hamidah, Majidah, dan masih banyak lagi, yang kalau dituliskan disini bisa jadi data base nantinya.
Banyak kenangan di sela-sela ukhuwah itu semua, dari PII aku belajar kedewasaan berintraksi, berfikir dan berkomunikasi. Secara tidak langsung PII telah mendidikku sebagai seorang yang empati terhadap pelajar, terhadap Islam dan Indonesia. Uhibbu PII fillah
26 Desember 2008/ 28 Dzulhijjah 1929
Nasr City, Kairo.
4 comments:
akhi hariyono..., salamku 4 U dari mantan ketum PII Blitar 1995-1996. Bravo PII!. Walau saya amati perkembangan akhir2 ini (dekade awal 2000) waktu saya ke matraman PB waktu itu jauh dibanding masa2 militansi kita dulu/. Semoga militansi PII tetap terjaga. Istiqamah akh. Sy Matra di Blitar n MENTRA (Mental Training) di Sumenep. Salam kenal ya..., mampir lo,
Rabbuna Yuwafiq insya Allah
selamat berjuang kawan. semoga amal kita untk memperjuangan yang membebaskan diterima Allah Rabbul alamin..salam dari PII NTB
wah cerita perjalanan di PII nih,
jadi pengen nulis tentang PII juga nih,
walau sekarang PII sudah tidak seDahsyat dulu lagi, bukan berarti kita berhenti berjuang. gitu toh
Post a Comment