Ulang tahun Pondok Pesantren Wali Songo (PPWS) 4 April lalu mengingatkan kita akan rutinitas tahunan di Desa Ngabar. Berbagai macam perlombaan seperti, bulutangkis, sepakbola, pidato, tilawah dan lain sebagainya hingga shalat tasbih berjama'ah dan sujud syukur diadakan untuk memeriahkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan Islam tersebut.
Tak ketinggalan, konsulat-konsulat dari berbagai daerah pun mengutus jago-jagonya untuk mengikuti kompetisi yang diselenggarakan. Tidak hanya itu, Mudabbir/Mudabbrioah pun ikut menyiapkan a'do-nya dalam mengikuti perlombaan, walaupun terkadang jago yang ditampilkan mudabbir hujroh 'satu spesies' (orang yang sama) dengan jago yang ditampilkan oleh pengurus konsulat. Kalah dan menang tentu menjadi realitas perlombaan, walaupun pada akhirnya para santri merasakan hal yang sama. Kepuasan.
Puas karena jam belajar formal diliburkan sementara, digantikan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstrakulikuler. Namun demikian, PPWS tidak membiarkan santri-santrinya beraktifitas secara serampangan tanpa tujuan. Sebagai contoh, di Tarbiyatul Muallimin, santri putra yang mengikuti lomba olah raga haruslah berpakaian kaos dan celana training yang rapi, kaos yang beraneka gambar pun dilarang dipakai, ini membuktikan bahwa berpakaian pun mengandung nilai pembelajaran di luar pembelajaran sekolah.
Fenomena ultah PPWS di atas hanyalah sebagian kecil dari proses pendidikan di Pesantren Ngabar ini. Ada hal lain yang lebih bermakna dari itu semua, mungkin kita dapat menyebutnya dengan hidden kurikulum. Sadar atau tidak, hidden kurikulumlah yang menjadi proses pendidikan santri putra dan putri agar transformasi ideologi dapat searah dengan kurukulum Pesantren (Sekolah). Sebagai contoh misalnya, di ruang sekolah tahun pertama, sebutlah pelajaran Mafudzot; Man Sobaro Dzofiro dan Man Jadda Wajada. Apakah kedua kata yang didapat dari bangku sekolah itu dapat melekat begitu saja di benak santri? jawaban sederhananya, tidak. Karena di Muallimin bukan hanya pengajaran tapi pendidikan, jadi teori saja tidak cukup, harus ada aplikasi dari apa yang disampaikan di bangku sekolah. Di luar ruang sekolah itulah pondok secara tersirat mengaplikasikan itu semua. Seperti usaha mewujudkan kesabaran dan kesungguhan santri dalam belajar, dalam mentaati guru, dalam mentaati peraturan dan lain sebagainya.
Merujuk pada Taksonomi Bloom (1956) yang dibuat oleh Benjamin S. Bloom untuk tujuan pendidikan. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi tiga teritori, yaitu; Kognitif, Afektif dan Psikomotorik. Begitupula Ki Hajar Dewantoro, memeliki istilah lainnya, yaitu; cipta, rasa dan karsa, selain itu dekenal pula istilah; penalaran,penghayatan dan pengamalan (Wikipedia).
Dari ketiga istilah tujuan pendidikan di atas, PPWS sebagai lembaga pendidikan tentunya tidak meninggalkan ketiga ranah tersebut, hal itu tampak dari Panca Jiwa Pondok (Jiwa keikhlasan, Kesederhanaan, Berdikari, Ukhuwah Islamiyah dan Kebebasan) yang setiap khutbatul iftitah acap kali disampaikan. Kelima karakter inialah yang berusaha dibangun oleh PPWS agar melekat dalam kehidupan seorang santri.
Suka tidak suka, santri yang telah mengenyam pendidikan PPWS pasti merasakan perubahan sikap yang dibangun, karena hal itu menjadi konsekwensi logis santri sebagai bagian dari ‘masyarakat’ Pesantren. Dalam artian, proses pengaruh-mempengaruhi berlaku di sana, Kyai mempengaruhi asatidz, asatidz mempengaruhi santri, dan sebenarnya, kesemuanya saling mempengaruhi. Kemudian, agar proses saling mempengaruhi ini berjalan searah dengan cita-cita pesantren, dibangunlah sistem yang mapan sebagai usaha menertibkan proses perubahan.
Sebagai misal, dalam kepengurusan Organsasi Santri Walisongo (OSWAS) di PPWS, terdapat kiriteria pengurus yang bunyinya; berakhlakul karimah. Seorang pengurus, mau tidak mau, akan menjadi pusat perhatian bagi anggota-anggotanya, pertanyaannya, kenapa harus ada kriteria tersebut? Tidak lain adalah agar pengurus tersebut menjadi tauladan yang baik bagi santri dan memberikan pengaruh positif. Hal ini senada dengan pelajaran Mthola’ah di bangku sekolah yang sering kali menceritakan akhlak-akhlak terpuji. Maka, tak heran bila salah satu pendiri PPWS, almarhum K.H. Ibrahim Thoyyib berpesan; Sebesar ketaatanmu, sebesar itu pula keinsyafanmu
Tak ayal lagi, betapa banyak hadiah dari PPWS yang dipersembahkan kepada setiap santrinya. Empat atau enam tahun berinteraksi adalah waktu yang sangat singkat untuk membentuk karakter yang ber-panca jiwa. Jadi, sudah menjadi keharusan Alumni untuk meneruskan perealisasian panca jiwa tersebut. Selamat ulang tahun PPWS.
Showing posts with label PPWS. Show all posts
Showing posts with label PPWS. Show all posts
Saturday, June 12, 2010
KBAPWS, What’s That?
We often find in the social networking site Facebook an application that reminds its users of the birthdays of other users. Some users may consider this as trivial, while others may not. For those who think that such application is unimportant, they probably do not really comprehend the nature of social interaction which requires communication among human being. That’s certainly different with those who believe in the importance of communication: silaturrahim.
Regardless of whether or not the aforesaid Facebook application is important, let us discuss about the anniversary of Pondok Pesantren Wali Songo (PPWS) on the last 4th of April, especially for those who are commemorating the anniversary in Egypt.
PPWS has been contributing to the dynamics of Islamic education in Indonesia for 49 years. Of course as an institution of learning, many students have graduated from the boarding school over its 49 years of existence. Among which are united under the banner of Keluarga Besar Alumni Pondok Pesantren Walisongo, KBAPWS in short, established in the Arab Republic of Egypt, and the forum currently has around 50 members.
There are interesting things that the author wants to convey about KBAPWS in Egypt. Formerly, alumni of PPWS who lived in Egypt had established what was named Himpunan Keluarga Pondok Pesantren Wali Songo (HKPW). However, due to socio-historical reasons, the institution of PPWS changed the name of HKPW to Himpunan Alumni dan Keluarga Pondok Pesantren Wali Songo (HAKPW), and the alumni who were in Egypt had consequently changed the name from HKPW Egypt into HAKPW Egypt. However, the new name (HAKPW) did not exist very long since PPWS once again changed the forum’s name into KBAPWS. And again, HAKPW Egypt was accordingly changed into KBAPWS Egypt.
We can see that the alumni in PPWS in Egypt are very much obedient to the decisions made by the stakeholders in PPWS, as can be observed from the evolution of the name of the alumni’s forum from HKPW up to KBAPWS. Whereas in a number of areas in Indonesia, some other alumni had objected to the forum’s names oferred by PPWS.
Unfortunately, PPWS seems to have little interest, or to put it mildly, is not aware of the potentials of its alumni in Egypt, compared to those who are residing in Indonesia. Why potential? This is because, for now, KBAPWS Egypt only possesses potentials, and not yet material. This differs from the alumni in Indonesia who had delved into the material world and can offer more than just mere potential. However, just be fair, the author assumes that PPWS is applying what we call scale of priority to empower its alumni. Hopefully this is not because PPWS is only interested in the alumni who can provide material benefits to the institution.
For example, in the case of the change of the forum’s name to HAKPW, or even to KBAPWS, there were no formal letter of decision sent to PPWS alumni in Egypt to socialize the decision. And in the national alumni conference, there was no invitation letters conveyed to the alumni in Egypt. Is it possible that PPWS has forgotten that it has a representative in Egypt? Interesting, isn’t it?
Here is a case study to ponder upon: the Government of the Philippines has established a communication mechanism with its labors who are working all around the world. In that mechanism, every labor receives a birthday greeting card from the President of the Philippines in his/her birthday. It may seem trivial, and most probably the President herself is not writing the birthday greeting, however small things like that has given the impression that the Government of the Philippines is really concerned about its citizens who work in a foreign country. And in Egypt, Philippino labors (especially those working in the domestic sector) has ranked top in terms of salaries received compared to other nationalities.
That shows the importance of building communication. Even though the act of building communication itself is as simple as sending a birthday greeting card, it is very influential on a country's positive image.
We can imagine what would happen if PPWS sends birthday greetings to its representatives abroad. It may encourage the creation of the atmosphere of harmony. That way, the communication will not only be established by PPWS representatives abroad who continuously provide information to PPWS, but also by the PPWS itself as an institution that provides feedback to its representatives. Here, two-way communication will occur.
Finally, let us hope that the silaturrahim wil always be present, not only among fellow alumni in Egypt, but also between the alumni forum (i.e. KBAPWS) and PPWS that is established upon the foundation of interactive (two-way) communitation. The starting point for the silaturrahim is through the continuous effort of PPWS alumni to develop their potentials which can bring about positive contribution to the society as a whole. Happy birthday PPWS.
Thursday, April 16, 2009
Ulang Tahun PPWS tanggal 4 April 2009 Dan Bincang Santai HAKPW Dengan Tema "Memotret Ngabar 2030"
Andy Hariyono selaku moderator acara “Bincang Santai” ini mempersilahkan dua pembicara Ngabarian untuk menempati tempat yang sudah dipersiapkan oleh panitia, mereka adalah; Saudara Ahmad Tirmidzi, Lc dan Saudari Desi Hanara. Kedua pembicara tersebut memberikan pemaparan tema berbeda mengenai pondok pesantren "Wali Songo" (PPWS), yang pertama lebih menekankan histori PPWS itu sendiri sedang yang ke dua, saudari Desi Hanara menganalisa Ngabar 2030.
Saudara Ahmad Tirmizi, Lc tidak lagi menjelaskan secara terperinci mengenai histori berdirinya PPWS karena ia memandang para hadirin sudah pada mengetahui hal tersebut, akan tetapi yang lebih ditekankannya adalah; bagaimana kita melihat masa lalu untuk menatap masa depan. Pelajaran yang diambilnya adalah spirit dari pendiri PPWS untuk mendirikan lembaga pendidikan yang berbasiskan pondok pesantren (Islam). Para pendiri memeliki spirit "ber-Islam" yang kuat sehingga rasa ingin menyebarluaskan dakwah Islam dan meninggikan kalimat Allah inilah yang menjadi cikal-bakal (spirit) berdirinya PPWS.
Dari sana Bang Mizi -panggilan akrabnya- menghimbau para alumni agar selalu menjaga spirit tersebut agar pelajaran yang diberikan sejarah tidak berlalu begitu saja. Di samping itu faedah dari review ulang histori PPWS ini adalah dapat mengetahui bersama posisi para alumni, karena tipe manusia dilihat dari sisi sejarah hanya dua macam saja; pertama Pelaku dan kedua penonton. Setelah melihat perkembangan sejarah, ternyata tidaklah banyak dari mereka (manusia) yang menjadi pelaku sajarah, dari sana perlu tekad dan kemauan yang kuat untuk terus berusaha agar para alumni dapat menjadi pelaku sejarah yang diinginkan.
Setelah Bang Mizi menyelesaikan penyampaiannya kemudian Saudara Andy Hariyono mempersilakan pembicara ke dua, yakni saudari Desi Hanara untuk memaparkan potret Ngabar 2030. Dengan Tujuh menit kedepan sisa waktu menjelang shalat Maghrib berjama'ah.
Saudari Desi mengajak para alumni untuk memotret Ngabar bersama, karena sangat jarang para alumni yang kritis dalam menilai PPWS itu sendiri. Dengan penjelasan mengenai konflik internal yang terjadi di Ngabar sampai pendidikan yang berkembang saat ini. Setelah pemaparan yang panjang saudari Desi Hanara sangat optimis akan kemajuan Ngabar ke depan terlebih setelah terpilihnya Pimpinan Pondok saat ini.
setelah kedua pembicara memberikan pandangannya, moderator memberikan waktu istirahat sejenak untuk berfoto bersama Duta Besar RI Mesir Bapak, Abudrrahman Mohammad Fachir dan shalat maghrib berjamaah.
Sesi selanjutnya, moderator memberikan kesempatan bagi para hadirin yang bertanya ataupun mengungkapkan pendapatnya mengenai PPWS. Banyaknya antusias alumni untuk bertanya sehingga moderator pun harus membatasi penanya karena mengingat alokasi waktu yang tersedia. Jumlah penanya putra 4 orang dan putri 1 orang.
Pertanyaan pertama dari saudara Mu'tashim El-Mandiri, menurutnya kita tidak perlu membuka konflik internal yang terjadi di Pondok saat ini didepan umum dengan melanjutkan pertanyaan mengenai beberpa tulisan ustadz Zaki yang dititipkannya ke Desi juga pertanyaan, apakah Ngabar dengan pendidikannya saat ini dapat survive kembali?
kemudian penanya kedua oleh saudara Ardi Budiman, baginya kita harus jujur untuk membaca situasi saat ini, dalam hal ini saudara Ardi lebih setuju dengan ungkapan konflik internal dari saudari Desi Hanara, karena dari premis-premis seperti ini juga mendukung cara pandang alumni dalam menilai Ngabar kedepan. kemudian ia mengajukan dua hal kekurangan yang ada pada ngabar; 1. Menejeman baik organisasi, struktur maupun adminstrasi, 2 Kapasitas alumni yang memang kurang "menjual" Ngabar itu sendiri.
Mba Sri Dewi Atiqoh, sebagai pembicara ke-tiga mengungkapkan apresiasinya terhadap Ngabar saat ini. karena pimpinan-pimpinan pondok sebelumnya sangat jarang mendengarkan keluhan, usulan dari para alumni-alumninya. Namun untuk saat ini, hal tersebut tidak perlu disesali lagi karena ia optimis bahwa kepemimpinan saat ini sangat peduli dengan para alumninya. Hal ini ia simpulkan, karena mengaca kepada alumni-alumni Gontor yang selalu serius ketika membahas pondoknya. Optimisme yang ada untuk kemajuan Ngabar kedepan juga dilontarkannya sebagai penutup kalam.
Kemudian selanjutnya saudara Abdul Qodir, ia berpandangan bahwasannya Ngabar sangat kurang dalam hal pertama; kaderisasinya, sebagai contoh; adakah dari santri atau asatidz yang disekolahkan di luar negeri untuk mengabdi nantinya di PPWS? hal ini menyebabkan kualitas pendidik berkurang di Ngabar, kedua; Ia pesimis dengan kridibelitas PPWS saat ini, sebaliknya ia mempertanyakan "siapkah para alumni menyekolahkan anaknya ke Ngabar?" jikalau banyak para alumni optimis dengan jawaban "YA", maka, di sanalah tolak ukur keberhasilan Ngabar itu sendiri tidak dengan jawaban sebaliknya.
Terakhir saudara Tafiqullah, memaparkan bahwa Ngabar harus segera membenahi konflik internal yang terjadi, karena ketidak akuran antar person terlebih lagi hingga stakeholder di Ngabar dapat berimplikasi pada lembaga yang dipimpin, juga ia berharap agar para asatidz -termasuk stakeholder- yang tidak mengingnkan perbaikan di Ngabar atau pro misi dan visi PPWS segera "disisihkan" dari struktural lembaga.
Dari beberapa pertanyaan dan saran di atas ditanggapi oleh ke dua pembicara, untuk Saudara Ahmad Tirmidzi, LC menjelaskan mengenai pendidikan saat ini, ia menganalogikan pendidikan seperti produk yang mempunyai daya jual, dalam artian, siapa yang produknya memiliki daya jual yang tinggi itulah yang dipilih. Dalam hal ini, perlu bagi Ngabar untuk mempersiapkan sistem Pendidikan yang kompetibel sehingga para alumninya dapat mempromosikan produk pendidikan tersebut. diakhiri dengan Visi Ngabar 2011 "Menuju Ngabar yang self-sufficiency (kebercukupan dan mandiri) dalam segala bidang adalah kunci ideal "
Kemudian tanggapan dari Saudari Desi Hanara, bahwasannya konflik internal yang diungkapkannya bukan bermaksud untuk memprovokasi pihak tertentu bahkan hal tersebut dipandang perlu diangkat sebagai premis-premis yang telah ia sampaikan dalam menilai Ngabar, dan pun bahasa tersebut sudah ia terjemahkan dengan kalimat yang santun dan beretika. Adapun mengenai pendidikan di Ngabar ia sendiri sempat menyampaikan bahwa kaderisasi di PPWS memang sangat minim dan ini perlu ditanggapi serius oleh para stakeholder di PPWS.
Acara ini ditutup dengan kesimpulan moderator agar para alumni mulai kritis dalam menilai PPWS saat ini dengan harapan menjadi palaku sejarah bukan penonton sejarah.
Saudara Ahmad Tirmizi, Lc tidak lagi menjelaskan secara terperinci mengenai histori berdirinya PPWS karena ia memandang para hadirin sudah pada mengetahui hal tersebut, akan tetapi yang lebih ditekankannya adalah; bagaimana kita melihat masa lalu untuk menatap masa depan. Pelajaran yang diambilnya adalah spirit dari pendiri PPWS untuk mendirikan lembaga pendidikan yang berbasiskan pondok pesantren (Islam). Para pendiri memeliki spirit "ber-Islam" yang kuat sehingga rasa ingin menyebarluaskan dakwah Islam dan meninggikan kalimat Allah inilah yang menjadi cikal-bakal (spirit) berdirinya PPWS.
Dari sana Bang Mizi -panggilan akrabnya- menghimbau para alumni agar selalu menjaga spirit tersebut agar pelajaran yang diberikan sejarah tidak berlalu begitu saja. Di samping itu faedah dari review ulang histori PPWS ini adalah dapat mengetahui bersama posisi para alumni, karena tipe manusia dilihat dari sisi sejarah hanya dua macam saja; pertama Pelaku dan kedua penonton. Setelah melihat perkembangan sejarah, ternyata tidaklah banyak dari mereka (manusia) yang menjadi pelaku sajarah, dari sana perlu tekad dan kemauan yang kuat untuk terus berusaha agar para alumni dapat menjadi pelaku sejarah yang diinginkan.
Setelah Bang Mizi menyelesaikan penyampaiannya kemudian Saudara Andy Hariyono mempersilakan pembicara ke dua, yakni saudari Desi Hanara untuk memaparkan potret Ngabar 2030. Dengan Tujuh menit kedepan sisa waktu menjelang shalat Maghrib berjama'ah.
Saudari Desi mengajak para alumni untuk memotret Ngabar bersama, karena sangat jarang para alumni yang kritis dalam menilai PPWS itu sendiri. Dengan penjelasan mengenai konflik internal yang terjadi di Ngabar sampai pendidikan yang berkembang saat ini. Setelah pemaparan yang panjang saudari Desi Hanara sangat optimis akan kemajuan Ngabar ke depan terlebih setelah terpilihnya Pimpinan Pondok saat ini.
setelah kedua pembicara memberikan pandangannya, moderator memberikan waktu istirahat sejenak untuk berfoto bersama Duta Besar RI Mesir Bapak, Abudrrahman Mohammad Fachir dan shalat maghrib berjamaah.
Sesi selanjutnya, moderator memberikan kesempatan bagi para hadirin yang bertanya ataupun mengungkapkan pendapatnya mengenai PPWS. Banyaknya antusias alumni untuk bertanya sehingga moderator pun harus membatasi penanya karena mengingat alokasi waktu yang tersedia. Jumlah penanya putra 4 orang dan putri 1 orang.
Pertanyaan pertama dari saudara Mu'tashim El-Mandiri, menurutnya kita tidak perlu membuka konflik internal yang terjadi di Pondok saat ini didepan umum dengan melanjutkan pertanyaan mengenai beberpa tulisan ustadz Zaki yang dititipkannya ke Desi juga pertanyaan, apakah Ngabar dengan pendidikannya saat ini dapat survive kembali?
kemudian penanya kedua oleh saudara Ardi Budiman, baginya kita harus jujur untuk membaca situasi saat ini, dalam hal ini saudara Ardi lebih setuju dengan ungkapan konflik internal dari saudari Desi Hanara, karena dari premis-premis seperti ini juga mendukung cara pandang alumni dalam menilai Ngabar kedepan. kemudian ia mengajukan dua hal kekurangan yang ada pada ngabar; 1. Menejeman baik organisasi, struktur maupun adminstrasi, 2 Kapasitas alumni yang memang kurang "menjual" Ngabar itu sendiri.
Mba Sri Dewi Atiqoh, sebagai pembicara ke-tiga mengungkapkan apresiasinya terhadap Ngabar saat ini. karena pimpinan-pimpinan pondok sebelumnya sangat jarang mendengarkan keluhan, usulan dari para alumni-alumninya. Namun untuk saat ini, hal tersebut tidak perlu disesali lagi karena ia optimis bahwa kepemimpinan saat ini sangat peduli dengan para alumninya. Hal ini ia simpulkan, karena mengaca kepada alumni-alumni Gontor yang selalu serius ketika membahas pondoknya. Optimisme yang ada untuk kemajuan Ngabar kedepan juga dilontarkannya sebagai penutup kalam.
Kemudian selanjutnya saudara Abdul Qodir, ia berpandangan bahwasannya Ngabar sangat kurang dalam hal pertama; kaderisasinya, sebagai contoh; adakah dari santri atau asatidz yang disekolahkan di luar negeri untuk mengabdi nantinya di PPWS? hal ini menyebabkan kualitas pendidik berkurang di Ngabar, kedua; Ia pesimis dengan kridibelitas PPWS saat ini, sebaliknya ia mempertanyakan "siapkah para alumni menyekolahkan anaknya ke Ngabar?" jikalau banyak para alumni optimis dengan jawaban "YA", maka, di sanalah tolak ukur keberhasilan Ngabar itu sendiri tidak dengan jawaban sebaliknya.
Terakhir saudara Tafiqullah, memaparkan bahwa Ngabar harus segera membenahi konflik internal yang terjadi, karena ketidak akuran antar person terlebih lagi hingga stakeholder di Ngabar dapat berimplikasi pada lembaga yang dipimpin, juga ia berharap agar para asatidz -termasuk stakeholder- yang tidak mengingnkan perbaikan di Ngabar atau pro misi dan visi PPWS segera "disisihkan" dari struktural lembaga.
Dari beberapa pertanyaan dan saran di atas ditanggapi oleh ke dua pembicara, untuk Saudara Ahmad Tirmidzi, LC menjelaskan mengenai pendidikan saat ini, ia menganalogikan pendidikan seperti produk yang mempunyai daya jual, dalam artian, siapa yang produknya memiliki daya jual yang tinggi itulah yang dipilih. Dalam hal ini, perlu bagi Ngabar untuk mempersiapkan sistem Pendidikan yang kompetibel sehingga para alumninya dapat mempromosikan produk pendidikan tersebut. diakhiri dengan Visi Ngabar 2011 "Menuju Ngabar yang self-sufficiency (kebercukupan dan mandiri) dalam segala bidang adalah kunci ideal "
Kemudian tanggapan dari Saudari Desi Hanara, bahwasannya konflik internal yang diungkapkannya bukan bermaksud untuk memprovokasi pihak tertentu bahkan hal tersebut dipandang perlu diangkat sebagai premis-premis yang telah ia sampaikan dalam menilai Ngabar, dan pun bahasa tersebut sudah ia terjemahkan dengan kalimat yang santun dan beretika. Adapun mengenai pendidikan di Ngabar ia sendiri sempat menyampaikan bahwa kaderisasi di PPWS memang sangat minim dan ini perlu ditanggapi serius oleh para stakeholder di PPWS.
Acara ini ditutup dengan kesimpulan moderator agar para alumni mulai kritis dalam menilai PPWS saat ini dengan harapan menjadi palaku sejarah bukan penonton sejarah.
Subscribe to:
Posts (Atom)