Sunday, July 12, 2009

Ayat Mutasyabihat

(Serangkai cara dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat)
Oleh: Andy Hariyono

Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah (Al-Qasas :88), Tangan Allah di atas tangan mereka (Al-Fath : 10), Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami (At-Thur : 48), (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy. (Thâha : 05)

Terdapat beberpa cara dikalangan ulama Islam dalam memahami terjemahan redaksional ayat-ayat al-Quran seperti diatas. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa secara sederhana ayat al-Quran terbagi menjadi dua macam; pertama ayat Muhkamat dan kedua adalah ayat Mutasyabihat, "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat".(Ali-Imran :7)

Surat Ali-Imran di atas memberikan sinyal bahwa didalam al-Quran terdapat ayat Muhkamat yang berbicara mengenai hal-hal yang pasti, sehingga ayat muhkamat ini jauh dari perdebatan karena kejelasnya dan mudah difahami oleh pembaca. Sebagai cotoh, ayat yang membicarakan Tauhid, kenabian Muhammad Saw, kewajiban membayar zakat, puasa, haji, haramnya riba, berzina, membunuh, mencuri dan lain sebagainya.

Adapun jenis ayat yang kedua adalah Mutasyabihat (samar-samar atau interpretable)
yang membutuhkan intelektual yang cerdas dan pemikiran yang matang serta ijtihad yang mendalam guna memahami ayat tersebut, itu artinya tidak semua orang memahami ayat Al-Quran dengan mudah, ada ayat-ayat tertentu yang membutuhkan otoritas-otoritas tertentu pula dalam memahami redaksional al-Quran, seperti ayat mutasyabihat yang hanya dapat dipahami oleh -dalam istilah al-Quran- "ar' râsikhuna fi'l ilmi" atau
orang-orang yang berakal.

Prof Dr. Syaid Ahmah Musayyar menuliskan dalam bukunya fatawa al-aqidah Islamiyah bahwasannya Imam Qurthubi dalam Tafsirnya menukil pernyataan salah seroang gurunya yang bernama Abi Abbas Ahmad bin Umar sebagai berikut, "Penamaan mereka sebagai "rasikhin" menunjukkan bahwasannya mereka mengetahui secara menyeluruh tentang ayat-ayat Muhkam dan mereka benar-benar memahami bahasa arab".

Dari sana, maka jelaslah keempat ayat diawal tulisan ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat, dimana hanya mereka yang memiliki kapasitas tertentu saja yang dapat menjelaskan isi dari ayat tersebut. Masih Prof. Dr. Sayid Ahmad Musayyar dalam bukunya yang berjudulu Al-Ilahiyat fi'l Aqidah Al-Islamiyah menuliskan empat cara pandang dalam memahami ayat-ayat Mutasyabihat di kalangan ulama islam; 1. At'Tafwidh, 2.At'Tasybih, 3.At' Ta'wil, 4. Al-itsbat bi'dlawabithihi.

At'Tafwidh
Tafwidh atau dalam bahasa lainnya Menyerahkan segalanya kepada Allah Swt, dalam hal ini, mayoritas ulama klasik (salaf) –generasi sebelum abad kelima hijraiyah, ada juga yang berpendapat mereka adalah tiga generasi awal; sahabat, tabi'in dan at'ba'u tabi''in - lebih condong menggunakan cara pandang tersebut. Dengan demikian mereka (ulama salaf) "lebih selamat" menurut Syihristani, karena mereka menyerahkan makna mutasyabih kepada Allah Swt. Sebagai contoh, surat Thaha ayat 5 yang berbicara mengenai persemayaman Allah swt diatas arsy.

Dari sini, para ulama klasik seperti Sufyat at'Tsauri, Auza'i, Al-Laits bin Sa'ad, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin Mubarak dan Imam Malik memahami ayat tersebut sebagaimana adanya, artinya Allah Swt bersemayam di atas Arsy, mengenai persemayaman Allah tidak dapat diketahui, melainkan hanya Allah Swt yang mengetahuinya. Hal ini senada dengan catatan Ibnu Khaldun bahwasannya madzhab ulama klasik dalam memahami ayat muatsaybih ialah; menyerahkan segalanya kepada Allah Swt, dan tidak berkomentar mengenai maksud dari ayat tersebut. Biasanya kelompok ini selalu mengatakan prihal ayat mutasyabihat dengan kalimat “hanya Allah yang tahu maksudnya”.

At'Tasybih
Tasybih secara bahasa artinya penyerupaan atau antropomorfisme, maksudanya adalah menyerupakan Allah Swt sebagaimana ciptaan-Nya. Mereka yang memiliki paradigma tasybih ini hanya bersandar pada teks-teks ayat yang termaktub dan menafsirkannya secara literal saja, alasan mereka karena Al-Quran turun dengan bahasa arab yang jelas (bilisânin arabiiyin mubîn). Jadi, cukuplah dengan melihat makna literal ayat dalam memahami ayat muatsyabih.

Sebutlah misalnya ke-empat ayat di awal tulisan ini, para ahli Tasybih berpandangan bahwa Tangan Allah seperti tangan manusia, begitupun Mata, wajah dan bersemeyamnya Allah swt sebagaimana manusia bersemayam.

At'Ta'wil
Pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber-suber suci (Al-Quran dan Sunah) sedemikian rupa, sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna yang sebenarnya (Hakikat) melainkan makna majazi. cara pandang yang ketiga inlah yang sering disebut dengan metode ta'wil atau Interpretasi metaforis. Ada sekelompok ulama yang berpandangan bahwa metode tasybih dalam memahami ayat mutasyabih sangatlah beresiko buruk bahkan bisa terjerumus dalam kekafiran, yakni penyerupan khalik dengan makhluk.

Maka, para ahli ta'wil beranggapan bahwa mereka (ahli tasybih) belum memahami bahasa arab dengan benar, karena dalam ilmu bahasa arab ada makna yang hakikat dan makna majazi. Jadi, para ulama ta'wil menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan menggunakan makna majazi bukan makna hakikat, berbeda dengan ahli tasybih yang hanya memahami secara tekstual saja sebagaimana keterangan sebelumnya. Sebagai contoh, tangan Allah, para ahli ta'wil mengartikanya sebagai kekuasaan Allah, Wajah Allah sebagai Dzat Allah, Penglihatan/Mata Allah sebagai Pengayoman Allah Swt dan lain sebagainya.

AL-itsbat bi'd Dlawabith
Ada sekelompok dari ulama klasik dan kontemporer yang tidak sependapat dengan ketiga metode (Tafwidl, Tasybih dan Ta'wil) di atas, melainkan menetapkan apa yang telah termaktub dalam Al-Quran (Al-itsbat Bi'd Dlawabith) di antaranya adalah Imam Abu Hanifah, menurutnya dalam kitab Al-Fiqih Al-akbar mengatakan bahwasannya Allah mempunyai tangan dan wajah dan jiwa, sebagaimana termaktub dalam Al-Quran dan tidak tergambarkan dalam benak ciptaan-ciptanNya (Manusia). Maka dari itu tidak boleh kita berpendapat bahwa tangan Allah adalah kekuasaan ataupun nikmatnya, akan tetapi TanganNya tidak dapat tergambarkan sedikitpun baik bentuk maupun sifatNya.

Gambaran sederhana dari ketiga metode di atas adalah, sebagai berikut, misalnya redaksional Ayat Al-Qura yang berbunyi; “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka

Ahli Tafwidl mengaatakan, Hanya Allah Swt yang tahu maksudnya, kita tidak boleh menetapkan Allah mempunyai tangan dan tidak boleh menafikannya, juga janganlah berpandangan bahwa ayat tersebut bermakna majazi ataupun hakiki.

Ahli Tasybih berpandangan bahwa Tangan Allah sama seperti Tangan Manusia, karean secara bahasa Tangan adalah tangan, dan dalam gambaran akal tangan manusia lebih rasional untuk digambarkan menjadi tangan Allah.

Ahli Ta'wil berpandangan bahwa tangan Allah di sana adalah kalimat Majazi yang artinya adalah kekuasaan Allah, Ahli Ta'wil ini tidak mengartikan ayat tersebut secara leterlek akan tetapi ada kalimat-kalimat dalam Bahasa Arab yang memiliki makna majaz.

Ahli It'sbat berpandangan bahwa Allah memiliki tangan sebagaimana ditetapkan di dalam Al-Quran dan tidak mengatakan; hanya Allah yang tahu maksudnya, tangan Allah seperti tangan manusia, atau tangan Allah adalah kekuasaan Allah.

Kesimpulan

Dari ke-empat cara pandang di atas, hanya tiga metode saja yang dapat kita jadikan sandaran untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, yakni; Tafwidl, Ta'wil dan Itsbat. Sedangkan cara pandang tasybih sangat tidak relevan bila dijadikan pegangan, karena metode itu sama saja dengan penyerupaan Khalik dengan makhluk.

Mungkin para ahli tasybih lupa bahwa Allah Swt menetapkan diriNya sebagai "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia" (As-Syurâ : 11) "dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia". (Al-Ikhlas : 4).

Adapun ketiga carapandang lainnya (Tafwidl, Ta'wil dan Itsbat) bisa dijadikan sandaran untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, dengan Tafwidl para pembaca bisa lebih "selamat" karena tidak menafsirkan apapun, hanya menyandarkan makna ayat kepada Allah Swt. Kemudian dengan Ta'wil berarti telah mensucikan Allah Swt dari pengaruh-pengaruh Tasybih, dan terakhir Itsbat merupakan carapandang yang hampir sama dengan Ta'wil, karena, ketika ahli itsbat menetapkan bahwa Allah mempunyai tangan, sedangkan dalam ilmu bahasa hakikat tangan pasti ada struktur tersendiri, baik tulang, jari, daging kulit dan lain sebagainya, maka tentunya bukan tangan seperti itu yang mereka maksudkan. Singkatnya, mereka juga bermaksud memaknakan tangan di sana dengan makna majazi. Wallahu a'lam Bi'shawab

Referensi
• Prof.Dr. Sayid Ahmad Al- Musayyar, Fatawa Al-Aqidah Al-Islamiyah, Maktabah Al-Iman Kairo, Cet. I Thn. 2007
• Prof.Dr Sayid Ahmad Al-Musayyar, Al-Ilahiyat Fi'l Aqidah Al-Islamiyah, Maktabah Al-Iman Kairo Cet. III Thn.2006
• Imam Bajury Tuhfatul Murîd ‘alâ Jauharatu't Tauhid dengan Ta'liq dari Tim Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar, Thn.2006-2007
• http://quran.al-islam.com
• http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/Takwil1.html

Bookmark and Share