Saturday, September 9, 2017

Warna-Warni Al-Quran (Episode 7 : Makkiyah dan Madaniyah)

Oleh : Andy Hariyono,Lc. M.Ag*

Pagi ini penulis membuka lembaran tafsir Al-Quran terjemah, judulnya Tafsir Inspirasi, Karya Dr. Zainal Arifin Zakaria salah satu alumni Univ. Al-Azhar Kairo. Dalam kitabnya, ia menuliskan setiap pembukaan ayat dengan keterangan Makkiyah atau Madaniyah. Mungkin kitab-kitab Al-Quran, terkhusus yang terjemahan, yang ada di tangan pembaca juga demikian. Lantas, apa maksud dari Makiyah dan Madaniyah?

Makiyah adalah wahyu Al-Quran yang turun sebelum peristiwa hijrah Nab Saw dan Madaniyah adalah wahyu Al-Quran yang turun setelah peristiwa hijrah. Demikianlah pengertian Makkiyah dan Madaniyah yang paling popular. Pembagian sedemikian sangat membantu para pengkaji Al-Quran untuk mengetahui sejarah hukum Islam atau mengetahui ayat-ayat yang masih berlaku hukumnya atau sudah digantikan dengan hukum pada ayat lain.

Hanya ada dua cara untuk mengetahui manakah yang termasuk Makkiyah dan Madaniyah, yaitu  pertama dengan pemberitaan langsung dari Nabi saw atau para sahabat yang meneragkan turunnya ayat Al-Quran, dan kedua dengan qiyas atau metode menelaah ciri-ciri dari Makkiyah atau Madaniyah, sebagaimana dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

Berikut adalah ciri-ciri Makkiyah dan Madaniyah,

1.      Sebagaimana ujar Ibnu Mas’ud r.a. segala ayat yang berbunyi “yā ayyuha’n nās (wahai sekalian manusia)” biasanya turun di Mekkah, sedangkan segala ayat yang berbunyi, “yā ayyuha’l ladzῑna āmanū (wahai orang-orang yang ada iman)”. Kaidah ini tidak selamanya dapat digunakan, terdapat pengecualian sedikit pada QS. Al-Baqarah [2]: 21 dan QS.Al-Baqarah [2]: 168 yang berbunyi “yā ayyuha’n nās” , pun demikian dengan QS. An-Nisa [4]: 1, 133, 170 dan 174. Sedangkan Al-Baqarah dan An-Nisa tidak termasuk Makkiyah melainkan ianya Madaniyah.

2.      Setiap surat yang mengandung kata “Kallā” maka ia Makkiyah.

3.      Setiap surat yang terdapat kisah Iblis dan Adam a.s. maka ia Makkiyah kecuali yang terdapat pada surat.Al-Baqarah.

4.      Setiap surat yang mengandung perintah Fardhu atau hukum Had maka ia Madaniyah.

Berikut ciri-ciri Makkiyah berdasarkan tema pembahasan,

1.      Peletakan dasar-dasar akidah seperti tauhid, iman adanya hari akhir, adanya pembalasan berupa surga dan neraka dan lain sebagainya. Misal tentang tauhid renungkanlah, QS. Al-Qashah [28]: 69—73, atau QS. Ibrahim [14]: 47—52 yang membicarakan tentang hari akhir.

2.      Menggunakan alam semesta sebagai bukti keagungan Allah SWT, sampai-sampai terdapat isyarat ilmiah pada ayat-ayatnya. Misal renungkanlah QS. Luqman [31]: 20—27.

3.      Memberitakan kisah-kisah para nabi dan umatnya, sampai terkesan jika ada kisah demikian sudah dapat dipastikan ia Makkiyah kecuali pada kisah Musa a.s. di surat Al-Baqarah dan Al-Maidah, serta kisah Musa a.s. dan Isa .a.s. di surat Ali Imran dan As Shaf.

4.      Makkiyah juga biasanya membahas tentang dasar-dasar akhlak dan prinsip hidup bermasyarakat seperti jujur, berbuat kebajikan, rukun, bakti kepada kedua orang tua, memuliakan tetangga, mensucikan hati maupun lisan dan sebagainya. Misal, renungkanlah QS. Al-Isra’ [17]: 33—39.

Berikut ciri-ciri Madaniyah berdasarkan tema pembahasan,

1.      Berisi aneka keterangan mengenai hukum syar’i secara rinci, misal hukum shalat, zakat, puasa, haji, hubungan sosial, nikah, cerai, penyusuan, warisan, hukum had, dan hukum qishas.

2.      Seruan terhadap ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani agar memeluk Islam.

3.      Menyebutkan ciri-ciri orang munafik.

4.      Menjelaskan hubungan antara muslim dan nonmuslim yang menjadi dasar adanya hubungan internasional, sehingga tercipta perdamaian, penegakan hukum dan ragam kesepakatan bersama.

*Penulis adalah Guru Ngaji dan Pengajar Tafsir di Griya Quran Al-Madani Bukit Siguntang.

Thursday, September 7, 2017

Warna-Warni Al-Quran (Episode 6 : Asbāb an-Nuzūl)

Oleh : Andy Hariyono, Lc. M.Ag*

Bismillahirrahmanirrahim, “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh atas apa yang mereka telah makan selama mereka bertakwa, beriman, serta beramal saleh, kemudian mereka bertakwa dan beriman, kemudian bertakwa dan berbuat kebajikan. Allah menyukai para pelaku kebajikan” (QS. Al-Māidah [5]: 93)

Penggalan makna ayat dari surat al-Māidah di atas terkesan membenarkan seorang beriman makan/minum apa saja, baik itu halal ataupun haram, selama mereka beriman dan bertakwa. Makna seperti ini tentu salah, pertanyaannya, darimana pengetahuan untuk menyalahkan makna tersebut? Pertanyaan ini hanya mampu dijawab oleh riwayat yang sahih, tidak ada peranan akal dalam menetapkanya. Akal hanya bertugas menyeleksi riwayat-riwayat yang ada.

Diriwayatkan bahwa ketika turun ayat pengharaman minuman keras, ada sahabat Nabi SAW yang bertanya: “Bagaimana nasib mereka yang telah wafat, padahal tadinya mereka gemar meminum khamar?” Nah, ayat pembuka di atas menerangkan bahwa Allah tidak meminta pertanggungjawaban mereka –yang telah wafat itu—sebelum datangnya ketetapan hukum tentang haramnya makanan dan minuman tertentu selama mereka beriman.

Ayat lain dalam surat Al-Lail berbunyi, “Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa. Yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya)” (QS. Al-Lail [92]: 17—18).

Mungkin ada yang berpikir bahwa ayat di atas berlaku untuk seluruh orang bertakwa secara umum, pandangan semacam ini salah. Karena ayat di atas secara ijmak berbicara untuk memuji saiduna Abu Bakar siddiq r.a. sehingga Imam Ar Razi berpandangan bahwa ayat “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa (atqakum) adalah alasan bahwa Abu Bakar Sidiq r.a. adalah sebaik-baik manusia setelah Rasulullah SAW, karena di surat Al-Lail Allah swt menyebut Abu Bakar sidiq dengan sebutan “Al-Atqa” atau orang yang paling bertakwa.

Demikian terlihat peran riwayat dalam memahami makna ayat Al-Quran di atas, sehingga pembaca tidak salah dalam menjalankan petunjuk yang ada di dalamnya. Pola pembacaan seperti inilah yang dinamakan ilmu Asbāb an-Nuzūl, atau Penjelasan ayat al-Quran dengan riwayat yang sahih, dimana riwayat tersebut mengungkap peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat, dan kandungan ayat tersebut berkaitan/dapat dikaitkan dengan pristiwa itu.

Perlu diterangkan bahwa tidak semua ayat dalam Al-Quran memiliki riwayat Asbāb an-Nuzūl, misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah para nabi terdahulu, keterangan tentang hari akhir, surga, neraka, dan berita-berita gaib. Memang ada riwayat dari Ibnu Mas’ud atau saiduna Ali bin Abi Thalib r.a.  yang maknanya, “Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, tidaklah turun satu surat dari Kitabullah melainkan aku tahu tentang apa ia turun”. Namun, maksud dari riwayat tersebut bukanlah seluruh ayat al-Quran mempunyai sebab turun, melainkan maskudnya adalah, jika ada ayat Al-Quran yang memiliki sebab turun, baik Ibnu Mas’ud atau saidina Ali r.a., mengetahui tentang apa ayat itu turun.

Berikut beberapa rekomendasi buku yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang Asbāb an-Nuzūl,

  1. Buku Pintar Asbabun Nuzul, Penulis Dr. Muhammad Chirzin, Penerbit Zaman, buku ini mengungkap peristiwa-peristiwa di balik turunnya ayat Al-Quran (asbāb an-nuzūl) dan menyarikan pesan moral yang terus relevan dengan keadaan umat Islam saat ini.
  2. Asbabun Nuzul sebab sebab Turunnya Ayat Al-Quran, Penulis Imam As-Suyuthi, Penerbit Pustaka Al-Kautsar atau Insan Kamil, ini buku terjemahan dari bahasa arab.
  3. Asbāb An-Nuzul, penulis seorang mufasir Abil Husain Ali bin Ahmad An-Naisaburi terkenal dengan sebutan Al-Wahidi (w. 327H).
*Penulis adalah Guru Ngaji dan Pengajar Tafsir di Griya Quran Al-Madani Bukit Siguntang.