Monday, January 13, 2014

Kritik Matan dan Sanad


I.                   Pendahuluan
Kajian hadits merupakan disiplin ilmu yang banyak digemari oleh para orientalis, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menggunakan ilmu ini dengan berbagai macam motivasi yang berbeda. Sebagai misal dari kalangan orientalis muncul deretan nama yang skeptis terhadap hadits seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, Michael Cook dan Norman Calder.

Namun demikian, tidak semua orientalis berpikir untuk memporak-porandakan bangunan keilmuan Islam. Terdapat juga dari mereka yang tidak setuju dengan metodelogi kajian yang dibangun para orientalis yang skeptis itu, seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, dan Schoeler.
Di kalangan internal umat Islam sendiri memiliki tokoh-tokoh yang serius menangani hadits, walupun ada juga yang dalam penelitiannya menolak hadits. Ahmad Amin misalnya, dengan karyanya Fajru’l Islam dan Dluha’l Islam banyak mengkritik hadits-hadits yang dikeluarkan oleh para ulama hadits klasik. Bahkan menuduh Abu Hurairah –radiyallahuanhu- sebagai pemalsu hadits.[1]

Berangkat dari minat untuk mengkaji hadits di atas, perlu kiranya bagi setiap Muslim mengetahui metode berinteraksi dengan disiplin ilmu tersebut. Dengan demikian, pada makalah kali ini, penulis akan menyajikan tulisan yang berkaitan dengan kajian hadits dan secara spesifik mengarah kepada kritik matan dan kritik sanad dalam hadits. Agar lebih terarah, pembahasan tulisan ini akan dibagi menjadi beberapa bagian sebagai berikut 1) Pengertian Kritik, 2) Pentingnya Kritik Hadits, 3) Kritik Matan, dan 4) Kritik Sanad.

II.                Pengertian Kritik
Kritik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, dan sebagainya.[2]  Kata kritik secara etimologi berasal dari bahasa Yunani krites yang berarti “seorang hakim” Krinein berarti “menghakimi”. Kriterion berarti “dasar penghakiman”.[3]

Kritik, sebagaimana Yudiono K.S merujuk dalam Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus (Jilid 4: 1891) sebagai berikut:
kritik (dari Yun. :kritike = pemisahan; dari krinoo = memutuskan, mempertimbangkan, menyatakan pendapat). 1) Umum: Pertimbangan yang membedakan antara yang benar dan yang tidak benar; yang indah dan yang jelek; yang bernilai dan yang tak bermutu. Kritik dapat bersifat menjatuhkan/merugikan, juga dapat bersifat membangun. 2) Falsafat: Terutama menekankan 3 kritik besar yang dikemukakan Immanuel Kant (Kritik der reinen Vernunft, Kritik der praktischen Vernunft, Kritik der Urteliskr) dalam ajarannya tentang kritisisme.[4]

Kritik dalam dunia hadits lebih dikenal dengan istilah naqd[5]dan dalam bahasa arab kata naqd biasanya digunakan untuk memisahkan antara yang baik dan buruk. Misalnya ungkapan, naqdu’n Natsr dan naqdu’s Syi’r maksudnya ialah menjelaskan kelebihan dan kekurangan yang ada pada Natsr dan Syair tersebut.[6] Kritik hadits atau naqdu’l Hadits berarti usaha untuk memberikan tanggapan atas hadits guna menunjukkan kebenaran penisbahan hadits tersebut kepada Rasulullah Saw.

Penelitian hadits yang berkaitan dengan matan disebut dengan istilah naqdu’l matn (Kritik teks) atau An’ Naqdu’d Dakkhili (kritik intern), sedangkan yang berkaitan dengan sanad lazim disebut dengan istilah naqdu’s sanad (kritik sanad) atau naqdu’l khariji (kritik ekstern).[7] Baik kritik intern maupun kritik ekstern, keduanya menjadi perhatian yang sangat serius bagi para ulama hadits. Hal tersebut tampak pada syarat-syarat (Sanad bersambung, kuat hapalan, tsiqqah, tidak syadz dan tidak mengandung Illah) sahihnya sebuah hadits.[8]

Dua dari lima syarat penilaian hadits sahih yang berkaitan langsung dengan teks (matn) tersebut ialah tidak syadz dan tidak mengandung Illah. Adapun tiga syarat lainnya, walaupun tidak berkaitan langsung, bertujuan untuk memberikan keyakinan akan kebenaran teks hadits-hadits tersebut.[9]
 
III.             Pentingnya Kritik Hadits
Hadits sebagai sumber kedua dalam hukum Islam tentu menempati kedudukan yang sangat penting. Rekaman-rekaman kenabian yang meliputi perkataan, perbuatan maupun tingkah laku Rasulullah Saw terdapat di dalamnya. Rasulullah Saw yang memiliki fungsi dan atau tugas antara lain untuk: (1) menjelaskan Al-Quran; (2) dipatuhi oleh orang-orang yang beriman; (3) menjadi tauladan baik dan rahmat bagi sekalian alam.[10]

Selain dari itu, Rasulullah Saw juga manusia biasa, seorang suami, seorang ayah, seorang anggota keluarga, seorang teman, seorang pengajar, seorang pendidik, seorang muballig, seorang pemimpin masyarakat, seorang panglima perang, seorang hakim, dan seorang kepala Negara. Terdapat pula hal-hal khusus yang diperuntukkan Allah Swt bagi Nabi Saw dan tidak untuk umatnya, misalnya berpoligami lebih dari empat orang istri. [11]

Pentingnya kehidupan Rasulullah Saw dalam menerapkan ajaran agama inilah yang mengharuskan umatnya untuk meneliti hadits-hadits yang benar-benar berkaitan dengan ajaran agama Islam, baik yang usul maupun yang furu’. Dengan adanya penelitian inilah, proses kritik dalam memahami hadits pun terjadi.

Kritik hadits secara hisotris sudah ada sejak masa para sahabat. Hal itu tampak dengan kesungguhan dan kegigihan para sahabat dalam kehatii-hatian dalam menerima ataupun meriwayatkan hadits. Ini wajar, karena para sahabat menjaga hadits sebagaimana mereka menjaga Al-Quran beserta hapalannya.[12] Sebagai misal, diceritakan bahwa Aisyah r.a. telah menyanggah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar dari Nabi Saw, karena bertentangan dengan Q.S. An’ Najm : 53. Bunyi hadits tersebut bahwa Nabi Saw bersabda, “Orang yang meninggal akan disisksa, apabila keluarganya menangisi kematiannya”.[13]

Rekaman mengenai sikap kritis para sahabat dalam menerima atau menolak sebuah penisbahan hadits kepada Nabi saw, merujuk kepada Al-Quran, diteruskan pula oleh para generasi setelahnya. Hal ini teraplikasikan pada syarat-syarat yang harus dipenuhi hadits sahih, yaitu sanad maupun matannya harus terbebas dari Syadz dan Illah. Dengan kata lain, ketepercayaan Isnad untuk sebuah hadits tidak dapat dianggap sebagai bukti yang pasti untuk keaslian sebuah hadits secara keseluruhan[14] tanpa memperhatikan matannya.

IV.             Kritik Matan
Matan atau sering kita sebut teks hadits adalah isi informasi yang tentunya disandarkan pada Rasulullah Saw. Sebagaimana ditulis di atas, bahwa syarat-syarat sahihnya hadits berkaitan erat dengan matan hadits baik secara langsung, seperti tidak syadz dan tidak mengandung Illah, maupun tak langsung, seperti bersambungnya sanad, perawinya harus dlabit dan tsiqqah.

Terdapat perbedaan di antara ulama dalam mengukur kevalidan matan. Al-Khatib al-Bagdadi (w. 463 H/1072 M) menjelaskan bahwa matan hadits yang maqbul (diterima sebagai hujah) haruslah: (1) tidak bertentangan dengan akal yang sehat; (2) tidak bertentangan dengan hukum Al-Quran yang muhkam; (3) tidak bertentangan dengan hadits mutawatir; (4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf); (5) tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti; dan (6) tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas kesahihannya lebih kuat.[15]

Shalah al-Din Al-Adlabi memberikan tolak ukur lain dalam meneliti kesahihan matan, diantara ialah; (1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan hadits yang kualitasnya lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera, dan sejarah; dan (4) susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.[16]

Dari beberapa penilaian kritik matan yang berbeda, terdapat prinsip yang popular yaitu, “Apabila engkau menemui sebuah hadits yang bertentangan dengan akal, atau apa yang sudah disepakati sebagai riwayat autentik, atau bertentangan degnan prinsip-prinsip yang sudah mapan diterima, maka engakau harus mengetahui bahwa hadits tersebut adalah palsu”. Kemudian penting juga untuk dikaji apakah matan yang sedang diteliti sesuai dengan karakter Nabi Saw, apakah sesuai dengan akal sehat, apakah rasional, apakah merusak aturan dasar gramatika bahasa Arab, apakah sesuai dengan fakta sejarah atau tidak dan lain sebagainya.[17]

Sebagai misal, terdapat riwayat hadits yang dinilai sahih oleh para ahli hadits namun dipandang lemah oleh Imam Malik r.a., karena matan atau teksnya bertentangan dengan petunjuk Al-Quran, haditsnya mengenai najisnya jilatan anjing. Dalam Al-Muwafaqat dikatakan bahwa, Imam Malik r.a. berujar, “terdapat sebuah hadits yang saya sendiri tidak mengetahui maksudnya, buruannya halal dimakan akan tetapi dilarang bermain dengannya (najis jilatannya, pen)” kemudian Ibnu’l Arabi seorang fakih bermadzhab Maliki berkata bahwa hadits tersebut bertentangan dengan dua pokok dalil dalam Islam. Pertama, Q.S. Al-Maidah : 43, dan kedua, kehidupan adalah dalil atas kesucian, sedangkan kehidupan juga berada pada anjing.[18]
 
Begitu juga hadits mengenai puasa enam hari di bulan Syawal yang riwayatnya sahih menurut Imam Muslim, namun Imam Malik r.a. justru melarang untuk berpuasa di bulan tersebut. Hal itu, menurut uraian Ibnu’l Arabi dalam menafsirkan Q.S. Al-Baqarah: 183,  dikhawatirkan menjadi anggapan bentuk penambahan (bid’ah, pen) dalam Ibadah, yakni menabah puasa Ramadlan sebulan penuh dengan puasa enam hari di bulan Syawal, sebagaimana kaum Nasrani menambah-nambahi ibadah mereka.[19]
 
Melihat perbedaan pandangan dalam menilai matan atau teks hadits di atas bukan berarti Imam Malik r.a. tidak ketat dalam memilih hadits, sehingga Imam Muslim yang hidup di masa setelahnya harus membuat kriteria sahihnya sebuah hadits menurut syarat dan ketentuan ahli hadits. Akan tetapi, posisi imam Malik r.a. sebagai Mujtahid tidak terikat dengan kesahihan yang dinisbahkan oleh para ahli hadits terhadap kedudukan Imam Muslim[20] karena seorang Mujtahid memiliki analisis dan pengetahuan yang luas dalam memahami persoalan agama dengan perangkat sunah yang mereka ketahui. Ditambah lagi dengan kemampuan Mujtahid dalam mengistimbath hukum, dan eksistensi ke-empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali) telah ada lebih dulu ketimbang penilaian ahli hadits (ahli ilmu mustholah hadits) terhadap kesahihan kitab Bukhari maupun Muslim –rahimahumullah-.[21]
 
Dari sana terlihat jelas bahwa seorang ahli fikih, terutama mereka yang hidup sebelum masa Imam Bukhari maupun Imam Muslim, dalam mengkritisi matan hadits memiliki pedoman khusus yang berbeda dengan pedoman yang dimiliki oleh para ahli hadits. Sehingga bila hendak mengkritik matan-matan hadits yang digunakan para ahli fikih tersebut dalam berhujjah, tentu harus menggunakan pendekatan atau tolak ukur yang proporsional sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penilian, atau bahkan menyalahkan ahli fikih dengan membenturkan metode para Imam Mujtahid dengan metode ahli hadits yang muncul di masa setelahnya.

V.                Kritik Sanad
Sanad atau transmisi pelaporan hadits menjadi bagian yang sangat berpengaruh terhadap kredibelitas seorang pembawa hadits, atau dalam dunia ilmu hadits dikenal dengan perawi. Seperti ditulis sebelumnya, bahwa terdapat paling tidak lima syarat diterimanya sebuah hadits, tiga syarat pertama yaitu, sanad bersambung, kuat hapalan dan adil merupakan bagian dari perhatian para kritikus hadits dalam meniliai sebuah sanad.

Hal tersebut di atas tidak serta merta ada begitu saja, melainkan terdapat spirit normatif maupun historis mengenai perhatian ulama dalam menerima sanad hadits. Secara normatif, terdapat hadits Rasulullah Saw diantaranya yang berbunyi, “Kalian mendengarkan dan akan didengar dari kalian, dan akan didengar dari orang yang mendengar dari kalian”[22] dan “Allah akan memperindah seseorang yang mendengar seseuatu dariku kemudian dia sampaikan sebagaimana dia mendengarnya, maka bias jadi orang yagn menyampaiakn lebih fakih dari yang mendengar”[23]dan dalil-dalil yang lainnya.
Dari sisi historis, terdapat banyak pernyataan kritikus hadits yang sangat seirus dan berhati-hati dalam meneliti sanad. Abdullah Ibnu’l Mubarak sering dijadikan contoh ulama hadits klasik (salaf) dalam keseriusannya mengkaji sanad, ungkapaan yang terkenal tercatat dalam Muqoddimah Sahih Muslim ialah, “Isnad merupakan bagian dari agama, seandainya bukan karena isnad (sanad) maka orang akan berbicara semaunya[24], selain itu  Qadli Abu Bakar Ibnu’l Arabi berkata, “Allah memuliakan umat ini dengan isnad yang tidak diberikan pada umat yang lain. Maka berhati-hatilah kalian dari mengikuti jalan Yahudi dan Nasrani sehingga kalian berbicara (tentang agama, pen) tanpa sanad sehingga tercabut nikmat Allah dari diri kalian, selalu curiga, dan kalian berada di kedudukan yang rendah, sehingga kalian berkumpul bersama orang-orang yang dilaknat Allah Swt…[25]
 
Berangkat dari spirit di atas, keabsahan sebuah informasi hadits tak dapat diterima tanpa syarat-syarat yang telah ditentukan oleh para ahli hadits, baik adanya ketersambungan sanad, kekuatan hapalan dan keadilan perawi. Sebagai misal keseriusan para ahli hadits ketika meneliti sebuah hadits, dalam hal penerimaan hadits saja, seorang rawi memiliki berbagai macam cara atau bentuk periwayatan, seperti: (1) Sama’, yakni murid menghadiri kuliah seorang ahli hadits. Periwayata hadits secara sederhana atau diikuti oleh pengimlaan (pendiktian) baik dari hafalan ataupun catatan berupa buku dan lain-lain. Terminology yang sering digunakan jenis periwayatan ini adalah sami’tu, haddatsani, akhbarana, atau anba’ana. (2) Qira’ah, yakni murid membacakan hadits-hadits yag telah ia kumpulkan kepada guru hadits. Terminology yang digunakan adalah akhbarani atau qara’tu ‘ala. (3) Ijazah, yakni mendapat izin atau ijazah dari seorang ulama untuk menyampaikan atau meriwayatkan hadits yang telah dikumpulkan oleh ulama tersebut. Terminologi yang digunakan dalam hal ini adalah akhbarani atau ajazani. (4) Munawalah, yakni mendapat kumpulan hadits sekaligus izin dari si pengumpulnya untuk menyebarkan isinya kepada orang lain. Istilah yang digunakan dalam jenis periwayatan ini adalah akhbarani. (5) Mukatabah, yakni menerima hadits-hadits secara tertulis dari seorang ulama, baik secara langsung maupun melalui surat-menyurat, degan atau tanpa izin dari ulama tersebut untuk menarasikannya kepada orang lain. Istilah yang digunakan adalah kataba ilayya atau min kitab. (6) I’lam ar’ Rawi, yakni pernyataan seorang ulama hadits kepada seorang murid bahwa ia menerima sejumlah hadits tertentu atau buku-buku dari seorang otoritas tertentu, tanpa memberi izin kepada sang murid untuk meriwayatkan materi-materi tersebut. Istilah yang digunakan adalah akhbarani atau ‘an. (7) Washiyah, yakni memeroleh karya-karya seorang ulama hadits atas kehendaknya sendiri pada saat ia meninggal. Istilah yang digunakan adalah akhbarani washiyyatan ‘an atau washahani. (8) Wijadah, yakni menemukan sejumlah hadits tertentu dalam sebuah buku, mungkin setelah seorang ulama hadits meninggal, tanpa menerimanya dengan otoritas yang diakui. Lafal yang digunakan adalah “wajadtu”, “qala”, “Ukhbirtu”, “hudditstu”.[26]

Tak ayal lagi, dari berbagai macam cara di atas, yang baru terlihat dari segi cara periwayatan saja, sudah tampak bahwa para ahli hadits benar-benar kritis dalam meneliti sebuah hadits. Belum ditambah dengan syarat keadilan dan kekuatan hapalan bagi perawi.

Sebagaimana kritik matan, para ulama hadits memiliki kriteria berbeda dalam meniliai sanad suatu hadits. Maka tidak heran bila terdapat hadits dalam salah satu kitab perawi dinilai sahih, di kitab yang lain dinilai hasan. Namun demikian, ulama-ulama ahli hadits telah memberikan batasan-batasan yang mereka sepakati dalam menilai sebuah hadits, walaupun ada diantara mereka yang terlalu mempermudah dalam memberikan syarat diterimanya sebuah hadits.

VI.             Kesimpulan
Demikianlah kiranya ulasan ringkas mengenai kritik matan dan sanad, urgensi kritik hadits menjadi suatu keharusan dalam meneliti sebuah hadits, sehingga kemurniannya yang berasal dari Rasulullah Saw benar-benar dapat terjaga hingga hari akhir kelak. 

Dalam meniliti hadits baik matan maupun sanad hendaknya menggunakan pendekatan atau tolak ukur yang proporsional, sehingga terdapat kejelasan analisis dalam meniliai sebuah hadits. Terlebih ketika hadits itu sudah dipergunakan dalam mengistimbath sebuah hukum (metode ahli fikih).




Daftar Pustaka
Abdu’l Mahdi bin Abdu’l Qadir bin Abdu’l Hadi, Ilmu’l Jarh wa’t Ta’dil, 1998.
Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad,  Pustaka online di www.id.lidwa.com/app/
Amin, Ahmad Dluhal Islam, 2003 Maktabah Usrah, Kairo.
Amin, Phil. Kamaruddin “Menguji kembali keakuratan metode Kritik Hadits”, 2009, penerbit Hikmah (PT Mizan Publika), Jakarta Selatan.
At’ Turmudzi, Sunan Turmudzi, ditahkik oleh Ahmad Syakir dan Musthafa Muhammad Husain Ad’z Zahabi, 2010, Daarul Hadiits, Kairo.
Baried, Siti Baroroh dkk. Pengantar Teori Filologi, 1985 BPPF, Yogyakarta.
Bukari, Sahih Bukhari, pustaka online di www.id.lidwa.com/app/
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Pustaka online di www.id.lidwa.com/app/
Ismail, M. Suhudi, Hadits Nabi menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, 2005, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta.
Itr , Nurudin, Manhaju’n Naqdi fi ‘Ulumi’l Hadits, 1979., Penerbit Daaru’l Fikri, Damaskus.
Lembaga Bahasa Arab, Mu’jam Al-Wajiz, 2005, Republik Arab Mesir.
Muasyyar, Sayid Ahmad Ramadlan, Assunnah Al-Mutahharah, 2003, Maktabah Iman, Giza.
Muslim, Sahih Muslim, pustaka online lidwa www.id.lidwa.com/app/
Shihab, M. Quraish “Membumikan” Al-Quran, 2007 , Mizan Media Utama, Jakarta.
Suyitno, Studi Ilmu-ilmu Hadits, 2013, Penerbit Idea Press, Yogyakarta.
Yudiono K.S., Pengkajian Kritik Sastra Indonesia, , 2009, Grasindo.
http://bahasa.kemdiknas.go.id/