Wednesday, August 30, 2017

Warna-warni Al-Quran (Episode 2 : Pengertian)


Oleh : Andy Hariyono Lc. M.Ag*

Penulis hendak memaparkan di tulisan ini mengenai pengertian dari Al-Quran, hal ini lantaran tidak semua kalamullah (firman Allah swt) dinamai Al-Quran. Hingga saat  ini pengertian sementara pakar mengenai Al-Quran adalah; 1) perkataan Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, 2) tertulis dalam mushaf dan 3) dinukil secara mutawatir, 4) membacanya bernilai ibadah serta 5) bermuatan mu’jizat walau hanya satu surat.

Dari sini, tampak bahwa kelima hal di atas menjadi syarat sesuatu dapat dijuluki Al-Quran. Berikut rincian dari syarat-syarat tersebut.

1)      Perkataan Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dari syarat ini tentu menunjukkan bahwa seluruh perkataan tidak termasuk Al-Quran kecuali perkataan Allah swt saja yang berpotensi dinamai Al-Quran, dan itupun hanya perkataan Allah swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. wal hasil, Injil yang diturunkan kepada nabi Isa a.s, atau Taurat kepada nabi Musa a.s. tidaklah dinamai Al-Quran.
2)      Tertulis dalam mushaf. Dinamai mushaf  karena benda itu dituliskan padanya kalamullah dan diapit oleh dua sisinya. (Lisanu’l ‘arab), sementara Ulama menamai mushaf untuk seluruh benda yang tertulis di atasnya huruf arab berupa Al-Quran. (Al-Qoulyubi ‘ala Syarhi’l minhaj) baik benda tersebut berbentuk kertas, pelepah kurma, daun dan lain sebagainya.
3)      Dinukil secara mutawatir, maksud dari mutawatir adalah, penukilan al-Quran sangat amat jelas sehingga tidak ada kemungkinan dusta maupun kesalahan, dari masa Nabi SAW hingga saat ini, bahkan sampai nanti. Penukilan secara mutawatir inilah diantara sebab terjaganya Al-Quran, baik secara hapalan maupun tulisan.
4)      Membacanya bernilai ibadah. Maksudnya adalah, bacaan Al-Quran walaupun tanpa kehadiran niat untuk ibadah sudah bermuatan ibadah sekaligus mendapatkan ganjaran dari bacaannya itu. Bahkan shalat tidak sah tanpa menghadirkan bacaan Al-Quran. Banyak sekali karya-karya tentang keutamaan-keutamaan Al-Quran ini, misalnya kitab “Tilāwatu’l Qurāni’l Majdoleh Syekh Abdullah Siraju’d Din. Dari syarat ini pula, membaca bacaan Al-Quran yang menyimpang (Qirā’at Syādzat) dan hadits qudsy tidaklah bernilai ibadah.
5)      Bermuatan mu’jizat. Mu’jizat ini adalah keistimewaan terbesar yang dimiliki Al-Quran, tentunya termasuk seluruh surat yang berada di dalamnya.
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain" (QS. Al-Isra’ : 88)

*Penulis adalah Guru Ngaji dan Pengajar Tafsir di Griya Quran Al-Madani Bukit Siguntang.
WA : 081275776491

Tuesday, August 29, 2017

Warna-warni Al-Quran (Episode 1)

Oleh : Andy Hariyono Lc. M.Ag*

Bismilillah lalu kemudian  shawalat beserta salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada baginda Abu Fatimah SAW. tulisan ini sengaja penulis sajikan untuk mempererat interaksi dengan Al-Quran, dengan harapan bertambah pengetahuan dan tumbuh rasa cinta menjaga Al-Quran.

Berangkat dari harapan di atas, perlu pula disadari bahwa penjagaan terhadap Al-Quran tidak cukup dengan hafalan, atau bacaan yang rutin. Lebih dari itu, salah satu bentuk penjagaan adalah terus berusaha memahami, mendalami dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran. Menerapkan hukum-hukumnya dalam kehidupan sehari-hari dan seterusnya, termasuk di dalamnya mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan Al-Quran. Dengan demikian, tulisan ini tidak lain nantinya akan membahas sisi lain dari penjagaan Al-Quran di luar hapalan.

Mengawali perkenalan ini, perlu diketaui bahwa, tidak ada satu bacaan di muka bumi ini yang dikenal oleh umat manusia, sejak manusia mengenal baca tulis 5000 tahun yang lalu, oleh yang mengerti dan tidak mengerti artinya seperti Al-Quran, bahkan yang sangat mengherankan, justru yang tidak mengerti artinya itulah yang paling pandai bacaannya.

Tidak ada satu buku pun yang diketahui sejarah turunnya, tidak hanya secara global, tetapi ia diketahui secara rinci tempat turunnya, kapan diturunkan, malam ataukah siang, dalam kondisi Nabi saw bepergian atau ketika Nabi saw bermukim. Tidak ada bacaan yang rinci ditelusuri sejarah turunnya seperti itu selain Al-Quran.

Kenapa demikian? karena Al-Quran adalah buku petunjuk yang bermuatan mukjizat. lantaran Al-Quran adalah buku petunjuk, maka seluruh umat Islam hendaknya menjadikannya sebagai rujukan dalam seluruh aspek kehidupannya, terlebih aspek ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang muslim hanya merupakan alat bantu untuk memahami Al-Quran.

Sebagai misal, saat seorang muslim membaca Al-Quran, ketika ia berusaha menghindari satu kesalahan dalam membaca atau melafalkannya, ia akan mencari cara untuk memahaminya, dari hal itu lahirlah ilmu Tajwid. Contoh lain, ketika seorang muslim mebaca teks (ayat) Al-Quran, ketika ia berusaha menghindari kesalahan dalam memahami teks tersebut maka terwujudlah kamus, muncullah ilmu struktur dan tata bahasa, nahwu dan sharaf. Ketika ia  bertanya-tanya lagi, apakah teks wahyu ini kalimat yang sebenarnya atau kalimat metafora? Muncullah ilmu balaghah (sastra Arab). Baik ilmu Tajwid maupun ilmu Nahwu dan Sharaf adalah ilmu bantu untuk melayani Al-Quran.

Ilmu Fikih misal lainnya, yang menunjukkan bahwa Al-Quran adalah rujukan ilmu pengetahuan. Dalam Fikih, menurut seorang ahli fikih Mesir Prof. Dr Ali Jum’ah –hafidzahullah- dalam suratnya mengatakan bahwa permasalahan fikih itu terdapat sekitar 1.200.000. Namun dari jumlah jutaan yang melampaui jumlah ayat Al-Quran itu hanya sedikit sekali yang berupa Al-Quran. Hal ini senada dengan penyampaian imam besar masjid Istiqlal saat ini, Prof. Dr. Nasarudin Umar yang mengatakan bahwa ayat hukum dalam Al-Quran hanya berjumlah 500 ayat. Itu artinya, Al-Quran hanyalah rujukan, sumber atau standar.

Misal lain Ilmu sejarah, dimana Al-Quran menjadi sumber pengetahuan. Dalam Al-Quran ketika berbicara mengenai Fir’aun, yaitu gelar untuk seorang raja Mesir dan asli penduduk Mesir, Allah swt selalu mengaitkannya dengan kisah nabi Musa a.s, hingga muncul “citra merek” jika ada cerita Musa pasti ada Fir’aun. 

Selanjutnya, mari kita perhatikan surat Yusuf dalam Al-Quran, dimana nabi Yusuf a.s. besar di Mesir dan bahkan menjadi menteri di negeri tersebut. Di surat itu, kita tidak pernah menemukan sekalipun Allah swt menyebutkan kata “Fir’aun”, tetapi Allah swt memilih kata “Al-Malik” yang berarti raja. Kenapa demikian? Padahal raja yang membeli Yusuf a.s. saat kecil adalah raja Mesir. Kenapa Allah swt tidak menggunakan kata “Fir’aun”?

Dr. Rasyid Badrawi, ahli sejarah dari Universitas Cairo menjawab, sebagaimana disampaikan oleh Aep Saepullah, Lc. MA, penggunaan kata “Al-Malik” dalam surat Yusuf menunjukkan bahwa di masa itu, yang menjadi raja Mesir bukan penduduk asli Mesir. Karena di masa nabi Yusuf a.s. Mesir sedang dijajah oleh suku hetiti yang berasal dari asia, sehingga Allah menggunakan kata Al-Malik, bukan Fir’aun.

Demikianlah pengantar tulisan mengenai warna-warani Al-Quran, mudah-mudahan catatan ini dapat menjadi bukti bagi penulis dan pembaca sekalian untuk Allah swt menghindarkan kita dari sifat orang-orang yang mengacuhkan Al-Quran (QS. Al-Furqan [25]: 30), dan memasukkan kita ke dalam hambanya yang paling baik sebagaimana pesan Nabi saw, “sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya”(HR. Bukhari). Amin.

*Penulis adalah Guru Ngaji dan Pengajar Tafsir di Griya Quran Al-Madani Bukit Siguntang.
Email. almadaikhwanada@gmail.com
Webblog: www.go-cathar.blogspot.co.id