Tuesday, August 29, 2017

Warna-warni Al-Quran (Episode 1)

Oleh : Andy Hariyono Lc. M.Ag*

Bismilillah lalu kemudian  shawalat beserta salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada baginda Abu Fatimah SAW. tulisan ini sengaja penulis sajikan untuk mempererat interaksi dengan Al-Quran, dengan harapan bertambah pengetahuan dan tumbuh rasa cinta menjaga Al-Quran.

Berangkat dari harapan di atas, perlu pula disadari bahwa penjagaan terhadap Al-Quran tidak cukup dengan hafalan, atau bacaan yang rutin. Lebih dari itu, salah satu bentuk penjagaan adalah terus berusaha memahami, mendalami dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran. Menerapkan hukum-hukumnya dalam kehidupan sehari-hari dan seterusnya, termasuk di dalamnya mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan Al-Quran. Dengan demikian, tulisan ini tidak lain nantinya akan membahas sisi lain dari penjagaan Al-Quran di luar hapalan.

Mengawali perkenalan ini, perlu diketaui bahwa, tidak ada satu bacaan di muka bumi ini yang dikenal oleh umat manusia, sejak manusia mengenal baca tulis 5000 tahun yang lalu, oleh yang mengerti dan tidak mengerti artinya seperti Al-Quran, bahkan yang sangat mengherankan, justru yang tidak mengerti artinya itulah yang paling pandai bacaannya.

Tidak ada satu buku pun yang diketahui sejarah turunnya, tidak hanya secara global, tetapi ia diketahui secara rinci tempat turunnya, kapan diturunkan, malam ataukah siang, dalam kondisi Nabi saw bepergian atau ketika Nabi saw bermukim. Tidak ada bacaan yang rinci ditelusuri sejarah turunnya seperti itu selain Al-Quran.

Kenapa demikian? karena Al-Quran adalah buku petunjuk yang bermuatan mukjizat. lantaran Al-Quran adalah buku petunjuk, maka seluruh umat Islam hendaknya menjadikannya sebagai rujukan dalam seluruh aspek kehidupannya, terlebih aspek ilmu pengetahuan. Sehingga ilmu pengetahuan yang dimiliki seorang muslim hanya merupakan alat bantu untuk memahami Al-Quran.

Sebagai misal, saat seorang muslim membaca Al-Quran, ketika ia berusaha menghindari satu kesalahan dalam membaca atau melafalkannya, ia akan mencari cara untuk memahaminya, dari hal itu lahirlah ilmu Tajwid. Contoh lain, ketika seorang muslim mebaca teks (ayat) Al-Quran, ketika ia berusaha menghindari kesalahan dalam memahami teks tersebut maka terwujudlah kamus, muncullah ilmu struktur dan tata bahasa, nahwu dan sharaf. Ketika ia  bertanya-tanya lagi, apakah teks wahyu ini kalimat yang sebenarnya atau kalimat metafora? Muncullah ilmu balaghah (sastra Arab). Baik ilmu Tajwid maupun ilmu Nahwu dan Sharaf adalah ilmu bantu untuk melayani Al-Quran.

Ilmu Fikih misal lainnya, yang menunjukkan bahwa Al-Quran adalah rujukan ilmu pengetahuan. Dalam Fikih, menurut seorang ahli fikih Mesir Prof. Dr Ali Jum’ah –hafidzahullah- dalam suratnya mengatakan bahwa permasalahan fikih itu terdapat sekitar 1.200.000. Namun dari jumlah jutaan yang melampaui jumlah ayat Al-Quran itu hanya sedikit sekali yang berupa Al-Quran. Hal ini senada dengan penyampaian imam besar masjid Istiqlal saat ini, Prof. Dr. Nasarudin Umar yang mengatakan bahwa ayat hukum dalam Al-Quran hanya berjumlah 500 ayat. Itu artinya, Al-Quran hanyalah rujukan, sumber atau standar.

Misal lain Ilmu sejarah, dimana Al-Quran menjadi sumber pengetahuan. Dalam Al-Quran ketika berbicara mengenai Fir’aun, yaitu gelar untuk seorang raja Mesir dan asli penduduk Mesir, Allah swt selalu mengaitkannya dengan kisah nabi Musa a.s, hingga muncul “citra merek” jika ada cerita Musa pasti ada Fir’aun. 

Selanjutnya, mari kita perhatikan surat Yusuf dalam Al-Quran, dimana nabi Yusuf a.s. besar di Mesir dan bahkan menjadi menteri di negeri tersebut. Di surat itu, kita tidak pernah menemukan sekalipun Allah swt menyebutkan kata “Fir’aun”, tetapi Allah swt memilih kata “Al-Malik” yang berarti raja. Kenapa demikian? Padahal raja yang membeli Yusuf a.s. saat kecil adalah raja Mesir. Kenapa Allah swt tidak menggunakan kata “Fir’aun”?

Dr. Rasyid Badrawi, ahli sejarah dari Universitas Cairo menjawab, sebagaimana disampaikan oleh Aep Saepullah, Lc. MA, penggunaan kata “Al-Malik” dalam surat Yusuf menunjukkan bahwa di masa itu, yang menjadi raja Mesir bukan penduduk asli Mesir. Karena di masa nabi Yusuf a.s. Mesir sedang dijajah oleh suku hetiti yang berasal dari asia, sehingga Allah menggunakan kata Al-Malik, bukan Fir’aun.

Demikianlah pengantar tulisan mengenai warna-warani Al-Quran, mudah-mudahan catatan ini dapat menjadi bukti bagi penulis dan pembaca sekalian untuk Allah swt menghindarkan kita dari sifat orang-orang yang mengacuhkan Al-Quran (QS. Al-Furqan [25]: 30), dan memasukkan kita ke dalam hambanya yang paling baik sebagaimana pesan Nabi saw, “sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Quran dan mengajarkannya”(HR. Bukhari). Amin.

*Penulis adalah Guru Ngaji dan Pengajar Tafsir di Griya Quran Al-Madani Bukit Siguntang.
Email. almadaikhwanada@gmail.com
Webblog: www.go-cathar.blogspot.co.id

No comments: