Friday, December 12, 2008

Sharing "Mahasiswa dan Politik" di Milis PMIK

--- On Wed, 11/26/08, Tirto Adhi wrote:
From: Tirto Adhi 
Subject: -=Info PMIK=- Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut
To: infopmik@yahoogroup s.com
Date: Wednesday, November 26, 2008, 8:02 PM

Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut

Kehadiran Pak Din Syamsuddin kembali menyegarkan adrenalin muda Masisir untuk melangkah menuju idealisme yang beliau sebut "why not the best". Acaranya memang singkat, namun kader dan simpatisan Muhammadiyyah semangat bukan kepalang.

Banyak butiran mutiara yang terlontar, namun tak teraih semua. Diantaranya ialah tentang teologi al Ma'un. Bahwa K.H. Ahmad Dahlan pernah dikeluhkan muridnya. Sudah berbulan-bulan mengaji masih mengulang ayat-ayat tentang ciri-ciri orang yang mendustakan agama tersebut. Untuk menjawabnya, kalimat pilihan beliau cukup bijak, Jaami' wa Maani' "sudahkah anda menyantuni yatim piatu, berapa perut kaum miskin yang sudah kau kenyangkan?". Bangkitlah organisasi itu hingga beranggota 35 juta, dengan pemahaman sebuah pelayanan, amal khidami, bukan semata 'salih' sendiri, khusyu dipojok mesjid tapi umat miskin menjerit-jerit.

Seperti itulah kapasitas visi seorang Muslim sejatinya, maslahat umat. Karena, menjadi 'Salih' bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan sebuah transformasi sosial yang menyeluruh menuju bentuk masyarakat ideal, miniatur masyarakat madinah zaman Rasulullah. "Wa maa arsalnaaka illa kaaffatan linnaasi basyiiro wa nadziiroo". Sehingga yang ada di otak dan perasaan seorang Mahasiswa Muslim Indonesia bervisi ialah "tahqiiq muroodullah" khususnya di Indonesia. Tidak harus berarti penegakan daulah Islam Indonesia secara revolusioner, karena memang tidak atau belum diperlukan. Namun hal yang lebih substansial dan mendesak ialah bagaimana setiap mahasiswa, terlebih seorang Azhary mampu menyemai prinsip-prinsip Islam yang didapatnya dari Azhar, Muhammadiyyah, NU, PERSIS, Kajian-kajian, pada masyarakat secara luas dengan dua cara.

Pertama, menebar Islam dirakyat umum. Hingga nilai-nilai tersebut merembes pada darah daging mereka dan menjadi budaya. Juga sampai pada tahap masyarakat sendiri lah yang sadar dan menginginkan nilai-nilai itu terinstitusikan dan terlegalkan dalam kebijakan pemerintahan. Dengan begitu, akan ada matching point antara kebijakan beberapa daerah yang mulai menginginkan hidup bersumber substansi Islam dengan keinginan natural masyarat.

Kedua, menebar Islam dipusat-pusat kebijakan. "Afdhalu al A'maal al akhdu bil wilaayah" seperti kata Ibnu Taimiyyah. Mengapa? Karena teriakan kebaikan seorang guru SMP tidak sama dengan obrolan ringan seorang menteri Pendidikan. Penampilan rapi, santun, berjilbab seorang ibu rumahan berbeda dengan kerudung biasa seorang Dosen atau Dokter Wanita. Yang berbeda hanyalah pengaruh dan status sosial. Bukan karena masyarakat Indonesia silau duniawi, tapi memang begitulah tabiat sosial masyarakat, dimanapun. Diantara pusat-pusat kebijakan seperti rektorat, perusahaan, organisasi pemuda, LSM, yang paling berpegaruh besar ialah politik dan pemerintahan. Oleh karena pengaruhnya yang lebih besar untuk mengakomodasi 'muroodulloh', maka sangat bodoh jika seorang mahasiswa apalagi Masisir masih sungkan beramal Islami memasuki dunia politik dengan alasan menjaga independensi mahasiswa.

Hanya para pengecutlah yang tidak berani dan tak mampu menjaga idealisme nya sendiri. Karena, mahasiswa muslim yang beranilah, yang kata Chairil Anwar "Berselempang semangat tak kenal mati" yang mampu melantangkan ide-idenya sehingga merubah arah politik nasional sebagaimana Bung Hatta dan Bung Tomo, bukan larut.Sehingga keraguan mahasiswa muslim untuk menebar nilai Islam didunia politik bukanlah karena pengakuan kesucian independensinya yang digembar-gemborkan, melainkan karena kepengecutan dan kelembekan idealisme pribadi dalam berhadapan dengan tantangan.

Mengapa hal ini penting? Karena "Inna Hadza addiin laa yatahaqoqu illa bi juhdi al basyar" seperti kata salah satu ulama Mesir. Jika tak ada lagi mahasiswa 'salih' yang lantang untuk menebar Islam di pusat-pusat pengambilan kebijakan, maka bersiaplah, pemimpin-pemimpin politik, aleg, rektor, menteri, pengusaha, ketua-ketua organisasi, birokrat, hanya akan diisi orang yang tidak'salih' , yang tidak lantang untuk menebar Islam. Yang akhirnya menyebabkan ketimpangan sosial, masyarakat menuju Islam dan para pengambil kebijakan melarangnya.

Jika teologi al Ma'un Ahmad Dahlan pada murid-muridnya difahami lagi pada zaman sekarang, tampaknya ia jauh lebih 'membakar' energi kaum muda muslim untuk, bukan hanya berjalan, tapi berlari, dalam menebar kebaikan Islam dan menerjemahkannya dalam konteks ke-Indonesia- an. Bukan hanya menyantuni piatu dan mengenyangkan yang miskin lagi, tapi juga perlindungan nasib PKL, solusi bagi yang di PHK, pembinaan remaja yang mabok, mahasiswi yang jualan 'ayam' di 'kampus', pejabat diskotik yang sogok dewan, pertolongan untuk kakek yang dipersulit administrasi rumah sakit pemerintah, atau singkatnya apa yang kata pak Din Syamsudin 3 K plus 1. Kemiskinan, Kebodohan, Keterbelakangan, dan Kesulitan Bersatu.

Kesimpulannya kalimat mutiara KH. Ahmad Dahlan akan menemukan maknanya, serta ledakan momentum perubahan bangsa jika mahasiswa muslim memulai aksi pada dua sisi. 1, Penemaran nilai-nilai Islam di masyarakat umum, 2, Infiltrasi penerjemahan konsep-konsep Islam pada pusat-pusat kebijakan publik dan pengambilan kebijakan.

25 November 2008
Tirto Adhi

--- On Wed, 11/26/08, Andy Hariyono wrote:
From: Andy Hariyono 
Subject: Re: -=Info PMIK=- Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut
To: infopmik@yahoogroup s.com
Date: Wednesday, November 26, 2008, 11:20 PM

Hemat bukan berarti Pelit

Bismillah, senang rasanya mendegar Pak Din berjodoh dengan Nil sehingga menyegarakan semangat para aktifis masisir.

Bang Tirto yang saya hormati, mungkin saya akan sharing di sini mengenai poin ke dua dari e-mail anda yang bertuliskan "yang paling berpegaruh besar ialah politik dan pemerintahan. Oleh karena pengaruhnya yang lebih besar untuk mengakomodasi 'muroodulloh' , maka sangat bodoh jika seorang mahasiswa apalagi Masisir masih sungkan beramal Islami memasuki dunia politik dengan alasan menjaga independensi mahasiswa."

Saya kurang sepakat dengan poin dari perkataan anda bahwa mahasiswa yang menjaga independensinya dari dunia politik adalah mahasiswa bodoh. Karena seorang akademisi dituntut untuk berpendirian demikian (independen) , agar tidak terlibat ataupun masuk ke dalam ideologi kepentingan politik itu sendiri.

Secara umum berpolitik dalam kancah pemerintahan diyakini sebagai perebutan kekuasaan, aktornya kita kenal dengan istilah politikus. Akan tetapi jikalau title tersebut disandang oleh seorang akademisi (Pelajar, Mahasiswa, Guru, Dosen) yang berjalan di atas jalur Pendidikan tentu akan berimplikasi pada Pendidikan itu sendiri. Wal hasil lembaga pendidikan/tempat pendidikan/ atau bahkan PPMI dan Kekeluargaan akan menjadi lembaga kepentingan politik. dan yang lebih bahaya lagi kemungkinan terjadinya pendidikan yang dipolitisir atau dakwah yang dipolitisir.

Pendidikan yang dipolitisir akan memformat pemikiran para pendidik –dalam hal ini baik Dosen, Guru, Mahasiswa, Pelajar- yang semula bertujuan mencerdaskan bangsa, berubah untuk meloloskan pengaruh kelompok ataupun partai tertentu, dan tidak menutup kemungkinan perkembangan prestasi (Pelajar ataupun Mahasiswa) akan dikaitkan dengan keberpihakan mereka terhadap partai politik itu sendiri.

Kondisi perpolitikan di era Bung Tomo dan Bung Hatta jelas tidaklah sama dengan kondisi perpolitikan pada saat ini, waktu itu Bung Hatta terjun ke dunia politik karena ingin membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan dan mempersatukan bangsa Indonesia dengan NKRI begitu pula dengan Bung Tomo. Kita patut mencontoh mereka dalam keberaniannya melawan pemerintahan yang dzalim, tapi itu bukan berarti Mahasiswa harus menerjunkan diri ke dunia politik ?

Perlu dipertimbangakan Bang Tirto, dengan independensinya Mahasiswa mampu menggulirkan Pemerintahan -Soekarno dan Soeharto- yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan rakyat, ataupun mendesak pemerintah –Di sini bisa DPR, MPR dan Presiden- untuk bersikap bijak terhadap rakyat. contohnya BBM yang melambung tinggi Mahasiswa mana yang setuju ?, UAN yang “menghantui” Pelajar, Mahasiswa Demo, dan lain sebagainya. Jikalau para mahasiswa tersebut masuk ke dunia politik tinggal pilih, menjadi koalisi pemerintah atau oposisi, dalam artian akan terikat dengan sistem politik yang mengkerdilkan daya kritis para mahasiswa itu sendiri.

Mengenai perkataan ulama Mesir tersebut, anda tidak perlu khawatir saya kira, mungkin saja itu bisa terjadi di Mesir tapi tidak untuk Indonesia. karena Bangsa Indoneisa (yang saya tahu) sudah dewasa dalam berpolitik.

Terakhir, silakan saja Mahasiswa belajar Berpolitik, bagaimana Paradigma para politikus dan lain sebagainya. Jikalau ingin terjun ke dunia Politik silakan jadi Politikus tapi Lepaskan baju Mahasiswa anda. Dan tidak terjunya mahasiswa ke dalam dunia politik bukan berararti Pengecut tetapi mahasiswa punya jalan sendiri untuk merubah bangsa.

Ingat Hemat bukan berarti Pelit.


YonZ

--- On Fri, 11/28/08, kholid muslih wrote:
From: kholid muslih 
Subject: Re: -=Info PMIK=- Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut
To: infopmik@yahoogroup s.com
Date: Friday, November 28, 2008, 7:55 AM

Wah menarik nih, bisa ikut sharing ....

Bismillah, senang rasanya mendegar Pak Din berjodoh dengan Nil sehingga menyegarakan semangat para aktifis masisir.

Setuju, masisir butuh pencerahan secara terus menerus agar lebih cepat mencapai kematangan dan kedewasaan

Bang Tirto yang saya hormati, mungkin saya akan sharing di sini mengenai poin ke dua dari e-mail anda yang bertuliskan "yang paling berpegaruh besar ialah politik dan pemerintahan. Oleh karena pengaruhnya yang lebih besar untuk mengakomodasi 'muroodulloh' , maka sangat bodoh jika seorang mahasiswa apalagi Masisir masih sungkan beramal Islami memasuki dunia politik dengan alasan menjaga independensi mahasiswa."

Saya kurang sepakat dengan poin dari perkataan anda bahwa mahasiswa yang menjaga independensinya dari dunia politik adalah mahasiswa bodoh. Karena seorang akademisi dituntut untuk berpendirian demikian (independen) , agar tidak terlibat ataupun masuk ke dalam ideologi kepentingan politik itu sendiri.

Mas Andi, Emang ada apa dengan ideologi kepentingan politik mas, dan apa salahnya jika masuk ke dalam ideologi kepentingan politik itu sendiri .... sejak kapan ideologi kepentingan politik itu bermasalah .. ?

yang menjadi masalah adalah ideologi kepentingan politik yang kotor ... sementara ideologi kepentingan politik itu sendiri tidak berkelamin (kotor atau bersih). yang menentukan kelamin adalah para pelakunya .... contoh sederhana ..... yang menjatuhkan pak harto adalah ideologi kepentingan politik juga, tapi yang idealis dan mulia .....

Secara umum berpolitik dalam kancah pemerintahan diyakini sebagai perebutan kekuasaan, aktornya kita kenal dengan istilah politikus. Akan tetapi jikalau title tersebut disandang oleh seorang akademisi (Pelajar, Mahasiswa, Guru, Dosen) yang berjalan di atas jalur Pendidikan tentu akan berimplikasi pada Pendidikan itu sendiri. Wal hasil lembaga pendidikan/tempat pendidikan/ atau bahkan PPMI dan Kekeluargaan akan menjadi lembaga kepentingan politik. dan yang lebih bahaya lagi kemungkinan terjadinya pendidikan yang dipolitisir atau dakwah yang dipolitisir.

Perebutan kekuasaan tidak selamanya bermasalah atau kotor, sebagaimana politik tidak selamanya kotor. Antara para sahabat ada perebutan kekuasaan (seperti di Saqifah Bani Sa'idah), tapi tidak untuk tujuan yang kotor. Bahkan munculnya Rasulullah adalah dalam rangka merebut kekuasaan dan dominasi politik Kuffar Kuraisy

jika kekuatan politik saat ini ada ditangan orang-orang kotor, perlu direbut agar menjadi bersih, dan itu disebut dengan poltitik dan perebutan kekuasaan juga, tapi untuk tujuan yang mulia.

Tentang implikasi politik terhadap mahasiswa/pendidika n/PPMI/kekeluarg aan/ /dakwah/ dan lain lain, juga tidak bisa secara mutlak dikhawatirkan, karena ... tergantung kekuatan politiknya .... kalo poltik yang dibawa dan kepentingan yang dibawa adalah politik bersih, dan membawa maslahat bagi umat, maka ... penolakan menjadi penolakan yang buta ... sekedar menolak hanya karena bahwa ia adalah politik.

Pendidikan yang dipolitisir akan memformat pemikiran para pendidik –dalam hal ini baik Dosen, Guru, Mahasiswa, Pelajar- yang semula bertujuan mencerdaskan bangsa, berubah untuk meloloskan pengaruh kelompok ataupun partai tertentu, dan tidak menutup kemungkinan perkembangan prestasi (Pelajar ataupun Mahasiswa) akan dikaitkan dengan keberpihakan mereka terhadap partai politik itu sendiri.

Tergantung yang mempolitisir, jika yang mempolitisir pelaku politik kotor maka hasilnya seperti yang anda sampaikan, tapi jika yang mempolitisir adalah orang-orang yang bersih, cerdas dan memiliki idealisme, maka Dosen/mahasiswa/ pelajar akan menjadi lebih cerdas dan berprestasi dari pada ketika dipolitisir oleh orang-orang yang anti politik tapi berniat kotor.

Terkadang bisa saja (indenpendensi mahasiswa) dipolitisir oleh yang anti politik untuk kepentingan politik dia yang tidak mulia ....

Kondisi perpolitikan di era Bung Tomo dan Bung Hatta jelas tidaklah sama dengan kondisi perpolitikan pada saat ini, waktu itu Bung Hatta terjun ke dunia politik karena ingin membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan dan mempersatukan bangsa Indonesia dengan NKRI begitu pula dengan Bung Tomo. Kita patut mencontoh mereka dalam keberaniannya melawan pemerintahan yang dzalim, tapi itu bukan berarti Mahasiswa harus menerjunkan diri ke dunia politik ?

Lalu melalui jalan apa .... politik moral memang pilihan, tapi bukan satu-satunya pilihan bagi mahasiswa, apalagi mencela yang terjun ke dunia politik yang bersih ... 

Perlu dipertimbangakan Bang Tirto, dengan independensinya Mahasiswa mampu menggulirkan Pemerintahan -Soekarno dan Soeharto- yang dianggap tidak sesuai dengan keinginan rakyat, ataupun mendesak pemerintah –Di sini bisa DPR, MPR dan Presiden- untuk bersikap bijak terhadap rakyat. contohnya BBM yang melambung tinggi Mahasiswa mana yang setuju ?, UAN yang “menghantui” Pelajar, Mahasiswa Demo, dan lain sebagainya. Jikalau para mahasiswa tersebut masuk ke dunia politik tinggal pilih, menjadi koalisi pemerintah atau oposisi, dalam artian akan terikat dengan sistem politik yang mengkerdilkan daya kritis para mahasiswa itu sendiri.

Mahasiswa yang selalu dijecoki dengan anti politik, tentu tidak akan mau lagi bergerak untuk menumbangkan kedzaliman karena dianggap masuk ke ranah politik, tidak mau lagi terjun untuk demontrasi menentang pemerintah yang tidak pro kepentingan rakyat ..... yang menentang kedzaliman itu mayoritas mahasiswa yang berafiliasi ke keuatan real politik, bukan mahasiswa yang selalu mengangkat indenpendensi

mas andy bisa menganalisa, mahasiswa yang anti politik, selama menjadi mahasiswa pikirannya hanya satu .... cepat selesai studi, lalu cepat-cepat cari kerja ... terutama jadi pegawai dan pejabat ... mereka menjadi lebih tidak kritis, tidak memiliki kepedulian .... dan setelah menjadi pejabat, sebagian mereka ada yang justru melestarikan budaya statusquo .....

Mahasiswa yang terlatih terjun ke dunia politik yang bersih, justru lebih jeli, tidak asal membeo, karena induknya bisa berkoalisi dengan tetap kritis, dan tetap obyektif walau menjadi opisisi. Kalaupun induknya tidak bisa melakukan tugas ini, maka ia tetap bisa kritis walaupun terhadap induknya.

Jadi masuk ke dunia politik yang bersih justru melatih ketajaman dan kepekaan serta kekritisan bukan sebaliknya .... permasalahnnya terletak pada kepada kekuatan poltiti mana dia berafiliasi. ... bukan pada kekuatan politik itu sendiri

Mengenai perkataan ulama Mesir tersebut, anda tidak perlu khawatir saya kira, mungkin saja itu bisa terjadi di Mesir tapi tidak untuk Indonesia. karena Bangsa Indoneisa (yang saya tahu) sudah dewasa dalam berpolitik.

Terakhir, silakan saja Mahasiswa belajar Berpolitik, bagaimana Paradigma para politikus dan lain sebagainya. Jikalau ingin terjun ke dunia Politik silakan jadi Politikus tapi Lepaskan baju Mahasiswa anda. Dan tidak terjunya mahasiswa ke dalam dunia politik bukan berararti Pengecut tetapi mahasiswa punya jalan sendiri untuk merubah bangsa.

Terakhir, tidak ada alasan untuk tidak terjun ke politik yang bersih, agar bisa belajar politik yang bersih sejak dini, sehingga nantinya ketika terjun menjadi politisi, bisa menjadi politisi yang baik, jujur dan bertanggung jawab, mampu melakukan perubahan yang berarti bagi bangsa dan umat.

Walaupun nantinya tidak terjun keduani politik, maka dia cukup cerdas untuk tidak dengan mudah dipolitisi oleh kepentingan politik kotor. Karena sudah well inform dan sudah terlatih ... untuk mensikapi dunia politik yang memang penuh jebakan ...

Menurut hemad saya, tidak pernah ada indenpendsi yang murni. Indenpendensi yang murni hanya ada pada keperpihakan yang utuh dan total kepada kebenaran dan kebaikan. Selain itu, siapapun yang mengaku independen, itu hanya pengakuan tanpa bukti. Tiak lebih. orang seperti itu bisa lebih kejam dan jahat dari orang-orang yang ia tuduh tidak independen hanya karena berafiliasi dengan kekuatan politik.

Ingat Hemat bukan berarti Pelit.

Naam muwafiq, Khoirul kalam ma qaala wa dalla.
semoga tidak terlalu tabdzir kata-kata yang tidak perlu. 

Mohon maaf jika kurang/tidak berkenan.

Salam,

Chaled_ms
madrasahduat. blogspot. com
Catatan tidak bertepi
Layari hidup penuh arti 

--- On Sat, 11/29/08, Andy Hariyono wrote:
From: Andy Hariyono 
Subject: Re: -=Info PMIK=- Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut
To: infopmik@yahoogroup s.com
Date: Saturday, November 29, 2008, 12:06 AM

Abu Azzam yang saya Banggakan... .

Sebelumnya, agar pengertian Politik di sini tidak meluas, mungkin perlu kita petakan politik apa yang dimaksud. karena email saya hanya memfokuskan mahasiswa untuk tidak terjun ke dunia politik (Parpol). Bukan berarti saya alergi parpol lho ...

Bagi saya, Justru dengan ketidak jelasan kelamin itu perlu dihindari oleh Mahasiswa yang -seharusnya- bergerak di jalan yang jelas.

"Jika kekuatan politik saat ini ada ditangan orang-orang kotor, perlu direbut agar menjadi bersih, dan itu disebut dengan poltitik dan perebutan kekuasaan juga, tapi untuk tujuan yang mulia".

Kalau kondisinya sekronis itu, Mahasiswa juga akan turun tangan dengan "politiknya" sendiri bukan dengan terjun ke dunia politik. Mungkin kasus PKI bisa menjadi contoh, dimana PKI yang menyebarkan paham komunisme "dibabat" oleh masyarakat -di dalamnya ada mahasiswa dan pelajar- kala itu, termasuk kasus Soeharto yang antum sebutkan, bukan Parpol yang membubarkan parlemen tetapi mahasiswa. Bagaimanapun kondisi pemerintahan, mahasiswa tetap akan kritis dengan kondisi negaranya,-dalam hal ini- independensi inilah yang diinginkan.

Sejarah mencatat aksi gerakan Mahasiswa dalam percaturan politik, tahun 1955 penggulingan Peron di Argentina, kejatuhan Ayub Khan di Pakistan di tahun 1956, Revolusi Hongaria tahun 1956, kejatuhan Peren Jimenez di Venezuela pada tahun 1958, Penentangan terhadap Diem di Vietnam pada tahun 1963, rusuhan massif melawan Perjanjian Keamanan Japan-AS di Japan pada 1963, gerakan anti-Soekarno pada tahun 1966, juga gerakan pembebasan Cekoslavikia pada tahun 1968, Reza Pahlebi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinan Marcos di Filipina tahun 1985 terakhir Soeharto di Indonesia tahun 1998.

"Mahasiswa yang selalu dijecoki dengan anti politik, tentu tidak akan mau lagi bergerak untuk menumbangkan kedzaliman karena dianggap masuk ke ranah politik, tidak mau lagi terjun untuk demontrasi menentang pemerintah yang tidak pro kepentingan rakyat ..... yang menentang kedzaliman itu mayoritas mahasiswa yang berafiliasi ke keuatan real politik, bukan mahasiswa yang selalu mengangkat indenpendensi"

Anti politik yang mana dulu ini?, dan mahasiswa yang berafiliasi ke kekuatan real politik, di sana real politik mana? kalau parpol, saya kira tidak juga.. Karena masih banyak organisasi yang bukan politik untuk dijadikan sarana pelatihan daya kritis. kita tahu di indonesia era Soekarno maupun Soeharto sudah ada NU, Muhamadiyah, HMI, PII, GPII dlsb. Terlebih andil ormas-ormas tersebut terbukti dalam perubahan bangsa.

"Mahasiswa yang terlatih terjun ke dunia politik yang bersih, justru lebih jeli, tidak asal membeo, karena induknya bisa berkoalisi dengan tetap kritis, dan tetap obyektif walau menjadi opisisi. Kalaupun induknya tidak bisa melakukan tugas ini, maka ia tetap bisa kritis walaupun terhadap induknya"

Sayang dunia perpolitikan kita tidak seindah itu, mungkin antum bisa memberikan contoh kongkrit permainan dunia politik (parpol) yang bersih, bisa jadi menurut antum bersih, tidak menurut yang lain. Di sini perlu ukuran mengenai bersih tidaknya dunia politik (parpol) itu sendiri.

Agar tidak terjadi mispersepsi, bagaimana kalau kita short cut ke diskusi parpol bukan politik secara umum. karena jelas ladang garapnya. seperti bagaimana sikap akademisi terhadap parpol? Atau apa pengaruh parpol terhadap kebebasan akademik? Dan lain sebagainya.

Thanks for your share Brother

Yonz

--- On Sat, 11/29/08, kholid muslih wrote:
From: kholid muslih 
Subject: Re: -=Info PMIK=- Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut
To: infopmik@yahoogroup s.com
Date: Saturday, November 29, 2008, 6:14 AM

Mas Andy yang juga saya hormati

Walaupun banyak catatan yang ingin saya sampaikan berkenaan dengan postingan antum, tapi baiklah kita lupakan yang lalu dulu, kita buka lembaran baru.

Saya sepakat dengan antum untuk memfokuskan diskusi kita.ke masalah parpol lebih khusus keterlibatan Mahasiswa dengan Parpol. 

sekarang saya ingin mengajukan pertanyaan terlebih dahulu:
1- Menurut antum apa makna independensi ? dan apa tujuan indenpendensi mahasiswa ?. 2- Apa yang persepsi antum tentang parpol, dan apa masalahnya jika mahasiswa berafiliasi dengan sebuah parpol tertentu ?

mungkin itu dulu, saya tunggu jawabannya.

jabat erat selalu,
chaled_ms

madrasahduat. blogspot. com
catatan tak bertepi
layari hidup penuh arti

--- On Sat, 11/29/08, Andy Hariyono wrote:
From: Andy Hariyono 
Subject: Re: -=Info PMIK=- Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut
To: infopmik@yahoogroup s.com
Date: Saturday, November 29, 2008, 11:26 PM

Baik lah Mas Kholid...

Independensi sederhananya kemandirian, mengenai tujuannya sangat jelas, agar di setiap gerakannya, mahasiswa tidak ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu. Dari sini terlihat kebebasan mahasiswa baik secara berfikir (akademis) maupun pergerakan.

Bagi saya sendiri, parpol merupakan kendaraan politik konstitusional di Negara kita, ia memiliki peran yang strategis untuk melakukan sebuah perubahan terkait dengan pemerintahan, dan ia adalah lembaga yang dibentuk sebagai media/jalan untuk berkuasa -tentunya untuk melakukan perbaikan-, juga parpol adalah milik masyarakat yang difungsikan menjaring aspirasi serta keinginan masyarakat.

Mengenai mahasiswa berafiliasi degan sebuah parpol tertentu, sah-sah saja, karena itu merupakan hak normatif sebagai warga negara, yang penting dia harus punya idealisme yang kuat sehingga tidak mudah tergoyang dengan kepentingan pemilik modal. Tapi lebih baik jangan terlebih dahulu, Kenapa? karena dia harus punya independensi agar mandiri dan tidak tergantung.

Mahasiswa itu dikenal sebagai agent of chenge dan "pembela kepentingan" rakyat dengan nurani, maka dari itu sebaiknya mahasiswa menghindari partai yang syarat dengan kepentingan golongan dan memecah belah umat.

Yonz

--- On Mon, 12/1/08, kholid muslih wrote:
From: kholid muslih 
Subject: Re: -=Info PMIK=- Teologi Al Ma'un & Mahasiswa Pengecut
To: infopmik@yahoogroup s.com
Date: Monday, December 1, 2008, 3:56 AM

Terima kasih mans andy atas jawabannya. ....

Saya mencoba menyimpulkan persepsi antum dalam poin berikut (mudah-mudahan tidak salah).

Mahasiswa harus independen, mandiri dan tidak tergantung dan untuk independen, mandiri dan tidak tergantung, sebaiknya jangan berafiliasi ke parpol tertentu, karena dua hal: 1- Karena berafiliasi ke parpol berarti tidak mendiri dan tergantung. 2- karena parpol Syarat dengan kepentingan golongan dan memecah belah umat.

Sebagai pembuka diskusi ini, perlu saya ajukan pertanyaan mendasar yaitu Bagaimana mengukur indenpendensi mahasiswa, apa ukurannya dan apa standarisasinya ? lalu apakah dengan berafiliasi ke parpol otomatis mahasiswa menjadi tidak independen ?

Menurut saya, standarisari idendnpendensi tidak bisa diukur hanya dengan tidak berafiliasi. Indenpendensi adalah mental ettitude, semangat dan karakter. Oleh karena itu mungkin ada dimana saja dan pada siapa saja, dia tidak mengenal batas. Seperti halnya zuhud. Zuhud itu tidak hanya terjadi bila seseorang keluar dari dunia dan meninggalkannya, namun bisa terjadi pada seorang yang justru berada pada pusat dunia itu sendiri. Bahkan seorang yang kaya dan memiliki materi yang melimpah ruah, namun tetap menjadikan harta itu ada di tangan, bukan ditangannya, maka kezuhudannya lebih tinggi dari zuhudnya orang-orang yang lari dari dunia, karena takut akan terseret ke pusarannya.

Demikian pula independensi, seorang bisa saja tidak berafiliasi ke mana-mana, tapi justru dia menjadi orang yang tidak independen, karena bisa dibawa ke kiri dan ke kanan, dan kemana angin bertiup, atau kemana udara berhembus. Bahkan digambarkan oleh Alquran sebagai orang linglung yang tidak bersama si fulan dan tidak juga bersama si fulan. (laa ila haaulaa' walaa ila haa ulaa). Itu sifat orang munafik.

Untuk itu, berafiliasi ke sebuah organisasi tertentu atau bahkan ke Parpol, tidak kemudian serta merta menjadikan mahasiswa menjadi tidak independen. Karena tabiat mahasiswa berbeda dengan masyarakat awam, berbeda karena tingkat intelektual dan sikap kritisnya. Dia tetap mungkin bisa kritis, tetap istiqomah sekalipun ia berafiliasi kepada parpol atau organisasi tertentu. Walaupun seorang yang telah berafiliasi tidak bisa keluar dari frame umum parpol atau organisasi tertentu. Itu soal lain, itu adalah konsekwensi dari sebuah pilihan. Maka dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah memilih parpol dan organisasi yang memiliki frame umum yang baik dan muktabar bukan yang masybuh dan dhool wa mudhill.

Jadi apa standarnya ? menurut saya standar baku dalam indenpendensi adalah loyalitas total terhadap kebenaran yang telah menjadi kesepakatan umum masyarakat pada umumnya.

Kebenaran umum ini bisa diraih dan dicapai oleh siapa saja dalam posisi apa saja. Jika semua menuju titik ini maka keberagaman afiliasi itu tidak menimbulkan bahaya. Dan tidak serta merta menggerus independensi, Asal tidak dirasuki oleh fanatisme kelompok. Upaya kerja keras untuk menuju titik kebenaran inilah yang disebut dengan fastabiquull khairaat. Dan ini merupakan anjuran terpenting al-Quran, karena ini merupakan konsekwensi logis bagi sunnatullah yang menjadikan pluralitas dalam segala hal di dunia ini.

Baik, bukankah parpol sangat syarat dengan fanatisme. Jawabnya fanatisme juga merupakan mental ettitude, yang bisa berada dimana-mana, sampai pada seorang diri. Firaun menjadi contoh nyata disini, walaupun dia seorang diri, tapi sangat fanatik terhadap diri sendiri (kalo tidak keberatan, mas andy bisa iseng-iseng melihat tulisan saya di blog saya yang sangat mutawadhi', judulnya: Diktatorisme dan otoritas penafsiran).

Jadi sangat memungkinkan bagi mahasiswa untuk memiliki independensi walaupun ia memiliki afiliasi, kemanapun saja, termasuk ke parpol.

Kalo kita mengambil mentah-mentah apa yang antum sampaikan, maka maka semestinya antum juga berkata NO, terhadap afiliasi mahasiswa terhadap organisasi mamapun. No untuk mahasiswa yang berafiliasi ke NU, Ke Muhammadiyah, Ke Perses, ke ICMI, ke Wasliyah ke JIL, ke INSISt, bahkan almamater yang ada disini itu juga harus kita katakan NO. Pertanyaannya adalah kenapa kepada semua afiliasi itu mas Andy YES, tapi kepada Parpol berkata NO. Ini standar ganda.

Mungkin jawabannya, kareana parpol berbeda dengan afiliasi-afiliasi tersebut, bedanya parpol sangat syarat dengan kepentingan golongan dan memecah belah umat. Thayyib ya sidi .... bukankah setiap organisasi itu juga memiliki kepentingan, ya sayyidi ?. baik lebih jelas lagi. Saya gambarkan bagini. Bukankah Muhammadiyah, juga memiliki afiliasi ke Parpol tententu baik PAN maupun PMB. Bukankah NU dan warganya memiliki afiliasi ke Parpol tertentu, seperti PKB atau PKNU. Ma rakyuka ya sidi ...?

Baik lebih jelas lagi, bukankah mahasiswa yang mengaku independen itu dan tidak berafiliasi ke ormas atau parpol manapun, juga menyimpan segepuk ambisi pribadi ? ingin tampil, ingin di puji, ingin disanjung dan juga ingin berkuasa.

Seakan-akan didunia ini hanya parpol yang memiliki kepentingan, dan syarat dengan kepentingan, sementara yang lainnya maksuuuum dari kepentingan !!!! seakan orang-orang parpol itu syaitanurrajiiiim dan orang-orang non parpol itu malaikah muqarrobuun .....

Intinya ya sayyidi Andy ..... kepentingan ada dimana-mana, dan berada dimana-mana, fanatisme juga ada dimana mana, baik berafiliasi ke parpol atau ke organisasi tertentu, atau tidak berafiliasi kemanapun. dan semua itu bisa dihindarkan bila kita tetap berafiliasi kepada kebenaran dan obyektifitas (kejujuran dan ketulusan, serta adil dalam melihat sesuatu, tdaik fanatik) dan secara terus menerus ingin mencapai kebenaran abadi dari yang maha abadi, lalu usaha yang dilakukan oleh siapapun dari golongan manapun untuk mencapai tujuan-tujuannya, asalkan berbekal diri pada hal-hal yang saya sebutkan maka ia tetap bisa menjadi independen. Dan itulah yang disebul oleh Al-Quran dengan Fastabiqul Khaoiraat. .

Terakhir, Menurut saya, silakan Mahasiswa berkiprah di mana saja mau di ormas, parpol, atau independen (tidak ke mana-mana) yang penting saling fastabiqul khairat, tidak saling memakan kawannya sendiri, saling menjatuhkan dan saling menindih.

Mungkin ini dulu mas Andy, Saya sangat berbahagia bisa sharing dengan antum. Semoga semakin mempererat hubungan silaturahmi kita. Kapan-kapan makan bakso Ponorogo di rumah saya ... Hayyi Tsamin. He... he... he ....

Salam
Chaled_ms
Madrasahduat. blogspot. com
Catatan tak bertepi
Layari hidup penuh arti

From: Andy Hariyono 

Insya Allah saya sempatkan singgah Mas...
Sudah lama tidak bercanda gurau lagi dengan Azzam...

Ok lah, kalau seandainya sikap independensi seperti pemahaman yang Mas Kholid sampaikan, saya setuju terlebih jika Mahasiswa itu berafiliasi kepada kebenaran dan obyektifitas (kejujuran dan ketulusan, serta adil dalam melihat sesuatu, tidak fanatik).

Namun, masih ada beberapa persoalan yang perlu klarifikasi di sini. Mengenai NU dan Muhammadiyah, benarkah kedua ormas tersebut -secara lembaga- berafiliasi kepada parpol tertentu (?) atau hal ini masih menjadi pembahasan internal mereka, atau malah parpol yang antum sebutkan menimbulkan "konflik" di internal mereka?. Untuk yang ini, bagaimana kalau kita daulah temen-temen NU dan Muhammadiyah Masisir memberikan penjelasan Mas.

Terkait orang-orang parpol Syaithonirrajim dan non parpol Malaikah muqorrobun, tidaklah demikian Mas... sama saja, orang baik dan jahat itu ada di mana-mana. Dan saya pikir, segala sesuatu ada takarannya masing-masing, kepentingan parpol itu berbeda takaran dengan kepentingan ormas, apalagi kepentingan pribadi. karena kepentingan parpol inilah yang membuat saya berbeda pendapat dengan antum mengenai sikap mahasiswa terhadap parpol. Maka dari itu saya lebih condong ke tidak ikutnya mahasiswa ke parpol terlebih dahulu kecuali dia sudah memiliki idealisme yang kuat.

Saat ini, parpol adalah sarana yang syah untuk menjadi pemerintah di Indonesia. Bagi saya, Parpol bukan permainan yang siapa saja bisa masuk seenaknya. Karena pemerintahan adalah tempat yang sangat strategis, sebaiknya mahasiswa mempersiapkan diri dahulu untuk Memimpin di masa mendatang. Jika sudah siap menjadi pemimpin bangsa maka, masuklah ke jalan yang sudah di gariskan oleh konstitusi (parpol). Agar parpol dan parlemen tidak di isi oleh orang-orang pinter yang "minteri" lagi korup. 

Suatu saat... jikalau rakyat sudah tidak percaya lagi dengan parpol...
maka bisa jadi calon independent akan goal hingga tahap Pilpres sekalipun...
ah.. sekedar ngelantur Mas...

Yup Mas Kholid, Mohon doanya, Imtihan on Desember 27,2008.
Bakso PO..., untuk yang ini jangan salahkan saya kalau banyak testimoni nantinya....
heheheehe...

Keep^iN^toucH

YonZ 




Bookmark and Share

No comments: