Thursday, July 24, 2008

Refleksi Tafsir Al-Jami‘ li Ahkâmi al-Quran

Oleh: Iyon el-Ngabary

A. Iftitah
Bismillah, Tafsir al-Qur'an berfungsi sebagai penjelas Kitâbullâh karena itu sudah tidak diragukan lagi ilmu ini sangat penting dibandingkan ilmu-ilmu al-Qur'an yang lain. Buku-buku tafsir pun telah banyak ditulis baik itu yang sudah tercetak maupun yang masih berbentuk manuskrip.

Berbicara mengenai tafsir pastinya kita akan menemukan ulama-ulama tafsir yang telah berkecimpung dalam ilmu tersebut seperti, Ibnu Abbas Ra, Al Farra’, Ibnu Jarir, Thobary, Qurtubi, Imam al-din Abu al-Fida’ Ismail ibnu Katsir , Fakhr al-Din al-Razi, Abu Hayyan al-Gharnati al-Andalusi dan lain sebagainya.

Tafsir menurut bahasa adalah penjelasan atau keterangan, seperti yang bisa dipahami dari Al Quran dalam surat Al-Furqan ayat 33. ucapan yang telah ditafsirkan berarti ucapan yang tegas dan jelas sedangkan menurut istilah - meminjam istilah Imam Zarkasyi – ialah Ilmu yang menerangkan al-Qur'an beserta makna-makna dan hukum-hukumnya. (Lihat al-Itqan 4 / 169) .


Para ulama mengklasifikasikan tafsir menjadi dua bagian yaitu; Tafsir bil Ma'tsur dan tafsir bil Ra'yi. Tafsir bil Ma‘atsur juga dikenal dengan tafsir riwayat ataupun tafsir bi naql. Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah menafsirkan al-Quran. Tafsir bil ra'yi juga disebut dengan tafsir diroyah, cara penafsiran semacam ini menggunakan ijtihad yang didasarkan pada dalil yang sahih, akidah yang murni dan tepat. Hal ini bukan berarti seseorang dapat menafsirkan ayat al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendak semata, karena hal itu dilarang berdasarkan sabda Nabi Saw:
"Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja niscaya ia akan menempati neraka. Dan siapa saja yang menafsirkn al-Quran dengan ra'yunya maka hedaknya ia bersebeliau menempatkan diri di neraka." (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas)
"Siapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra'yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan" (HR. Abi Dawud dari Jundab).

Ra'yu yang dimaksud dari kedua hadits diatas ialah hawa nafsu. Dengan demikian tafsir bil ra'yi ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara', jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Quran .

Dari kedua klasifikasi tafsir tersebut, Imam Qurtubi menuliskan tafsirnya melalui jalur tafsir bil m'atsur. Hal ini jelas dengan peringatan beliau –sebagaimana termaktub di dalam muqoddimah tafsir Al-jami‘ li Ahkâmi al-Quran- ada bab tersendiri mengenai peringatan bagi yang menafsirkan al-Quran bil ra'yi Agar lebih jelas dan terarah pembicaraan mengenai tafsir imam Qurtubi marilah kita mendiskusikan ke-empat hal ini yaitu; biografi mufassir (Imam Qurtubi), metodelogi penafsirannya, kelemahan serta kelebihan dari tafsir Al-Jami li-Ahkam al-Quran dan keuntungan mempelajari tafsir tersebut.

B. Biografi Imam Qurtubi
Adalah Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Anshori al-Khazarji al-Andalusi, al-Qurtubi merupakan cedikiawan muslim yang dilahirkan di Cordoba, Andalusia (Spanyol). Beliau merupakan pengikut mazhab imam Malik (Ulama Hadits dan Fiqih). Hal ini tampak pada tulisan-tulisan beliau terutama dalam buku tafsir 12 jilidnya Al Jami' li-ahkam al-Qur'an . Di negeri yang ditaklukan Thoriq bin Ziyad inilah Imam Qurtubi belajar bahasa arab dan syair disamping ketekunannya dalam mempelajari al-Qur'an. Kemudian beliau hijrah ke Mesir dan tinggal di Maniyah bani Khazib, (di utara Asyut) sehingga ia meninggal di sana pada tahun 671H. Diantara buku-buku karangan beliau ialah; Al-jami‘ li Ahkâmil al-Quran, al-Tadzkirah fî ahwali al-Maut wa umuri al-Akhirah, al-Tadzakkar fî afdhali al-Adzkar, al-Asmâ fî Syarhi asmai al-Husnâ, al-‘Ilam bima fî al-Dini al-Nashârâ min al-Mafâsid wal al-Auhâam wa Idzhâri mahâsina Din al-Islam, Qom‘u al-Harshi bil Zuhdi wal Qona‘ah, Risâlat fî al-Qâbi al-Hadits, Kitâbu al-Aqdhiyah, dan al-Misbah baina al-Af‘al wa al-Shohah.

B.1. Kultur keilmuan
Pada tahun 514 – 668 H -Imam Qurtubi hidup di masa tersebut- Andalusia sudah berada dalam masa keilmuan yang gemilang. Buktinya ialah, telah banyak buku-buku dan penulis yang berasal dari Andalusia, bahkan kota Cordoba merupakan kota yang paling banyak buku-bukunya, adapun perhatian masyarakat waktu itu sangatlah besar terhadap perpustakaan. Pesatnya pertumbuhan ilmu di Andalusia berimplikasi pada perkembangan ilmu-ilmu agama seperti, fiqih, hadits, tafsir begitu pula ilmu-ilmu bahasa, nahwu, sejarah, adab dan syair. Keadaan seperti ini tentunya banyak berpengaruh dalam proses pembentukan karakter ilmu bagi Imam Qurtubi .

B.2. Guru Imam Qurtubi
Diantara guru-guru imam Qurtubi ialah:
1. Ibnu Rawaj: Beliau adalah Imam muhadits Abu Muhammad ‘Abdul Wahhab bin Rawaj sedang nama beliau adalah Dzâfir bin Fatuh al-Azdi al-Iskandarani al-Maliki wafat tahun 648 H .
2. Ibnu al-Jumayzi; beliau adalah ‘ulama hadits, fiqih dan qirâat bermazhab Syafi‘i wafat tahun 649 H .
3. Abu ‘Abbas Ahmad bin ‘Umar bin Ibrahim al-Maliki al-Qurtubi pengarang buku Al-Mafhum fî Syarhi Shahîh Muslim .
4. Al-Hasan al-Bakri; beliau adalah Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Amruk al-Tîmi al-Naysâbûri. Sedangkan di Damaskus (Syria) beliau dikenal dengan Abu ‘Ali Shodru Din al-Bakri wafat tahun 656 H .

Imam Qurthubi dalam mengarang buku tafsirnya banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama sebelumnya seperti; Ibnu ‘Athiyyah beliau adalah al-Qâdhi Abu Muhammad ‘Abdu al-Haqqi bin ‘Athiyyah pengarang buku al-Muharrar al-Wajîz fî al-Tafsîr. Beliau sangat berpengaruh dalam penulisan tafsir Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran dan Imam Qurtubi banyak menyalin dari buku-buku beliau baik dari tafsir bil m‘atsur, qrâat, bahasa, nahwu, balaghoh, fiqih, hukum-hukum dan lain sebagainya. Kemudian Abu J‘afar al-Nuhâs (‘Irab al-Quran, Ma‘âni al-Quran), al-Mawardi (450 H), al-Thobari (jâm‘i al-Bayân fî tafsir al-Quran), Abu Bakar bin al-‘Arabi (Ahkâmu al-Quran) .

Disamping itu banyak dari ulama-ulama tafsir yang muncul setelah Imam Qurtubi. Mereka menjadikan buku tafsir (Al-jami‘ li Ahkâmil al-Quran) sebagai rujukan. Diantara mereka yang mashur yaitu; al-Hâfidz Ibnu katsir (774 H) Abu Hayyan al-Andalusi al-Ghornathi (754 H), Al-Syaukâni (1200 H) .

C. Metodelogi Penulisan Tafsir Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran
Syaikh Shâalih Āli Syaikh dalam tulisannya mengatakan salah satu cara mengetahui metode tafsir ialah; penulis (para mufassir) menerangkan mengenai metode penulisan mereka . Sebagai mana Imam Qurtubi dalam muqoddimah Al-Jami li-Ahkam al-Quran menulis bahwasannya beliau mengarang buku ini dengan metode menyandarkan setiap perkataan dan hadits kepada sumbernya. Karena banyak hadits-hadits dalam beberapa buku fiqih dan tafsir yang tidak diketahui sumbernya, kecuali bagi mereka yang telah mempelajari buku-buku hadits. Maka, yang tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut tentunya akan kesulitan untuk mengetahui antara perkataan yang shahih dan cacat, kemudian seandainya hadits tersebut diketahui cacat pastinya tidak dapat dijadikan sebagai landasan dalil sampai yang berbicara hadits tersebut menyandarkannya kepada perawi yang tepat.

Imam Qurtubi dalam tafsirnya banyak menceritakan kisah-kisah para mufassir dan tentang sejarawan yang memang perlu untuk diterangkan sehingga memperkuat hukum-hukum yang ditafsirkan maknanya dan mudah dipahami.

Ayat-ayat yang berbicara mengenai suatu hukum, akan beliau terangkan di dalamnya segala yang berkaitan dengan hukum tersebut, baik dari sisi asbâbu al-Nuzul, tafsiran yang masih asing dan hukumnya. Kalaupun ayat itu tidak berbicara mengenai suatu hukum maka akan disebutkan di dalamnya tafsir dan ta'wil. Demikianlah metode Imam Qurtubi dalam penulisan tafsirnya.

D. Pandangan Umum Mengenai Tafsir Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran
Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi menuliskan keistimewaan dari buku tafsir Al-Jami li Ahkam al-Quran, diantaranya yaitu :
1. Menjelaskan hukum-hukum al-Quran secara gamblang.
2. Banyak hadits-hadits yang dikeluarkan beliau disandarkan kepada para perawinya.
3. Imam Qurtubi banyak menyebutkan isrâîliyyat dan hadits-hadits maudhu‘ dalam kitabnya tetapi hanya sebagian riwayat yang lemah saja yang dibiarkanya tanpa diberi ulasan.
4. Ketika beliau menyebutkan isrâîliyyat dan hadits-hadits maudhu‘ yang mencoba merusak kesucian para malaikat dan nabi-nabi terlebih lagi akidah, beliau pun menentangnya atau memberikan penjelasan bahwasannya hadits itu dha‘if . sebagai mana beliau menafsirkan ayat tentang Hârût dan Mârût, kisah Nabi Daud dan Sulaiman, istri Nabi Saw. Sayyidah Zainab binti Jahsy. Dan juga, Imam Qurtubi menjelaskan sebagian yang maudhu‘ dari asbâbu al-Nuzul.

Layaknya buatan manusia, tentunya tidak luput dari kekurangan. Prof. Dr. Yusud Qaradhawi dalam bukunya Tsaqâfatu al-Da‘iyah mengatakan bahwa tafsir bil-ma'tsur dan tafsir bil ra'yi mempunyai kelebihan dan kekurangan. Diantara kekurangan tafsir bil ma'tsur ialah adanya riwayat-riwayat isrâîliyyât dan di dalamnya juga terdapat hadits-hadits maudh‘u dan dha‘if. Sedang kekurangan tafsir bil ra'yi ialah cenderung pada kebiasaan individual penafsir, madzhabnya atau hanya sesuai dengan zamannya saja .

Sedangkan buku tafsir Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran merupakan tafsir bil ma'tsur, yang sebagai mana Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi mengatakan diantara kekurangannya ialah :
1. Imam Qurtubi meriwayatkan isrâîliyyat dalam tafsirnya, contoh : ketika beliau menafsirkan ayat:
الَّذِينَ يَحْمِلُونَ العَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلماً فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الجَحِيمِ
(Malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala, (Ghâfir [40]: 7)
Imam Qurtubi mengatakan bahwasannya malaikat pembawa ‘Arsy itu kaki mereka berada di dasar bumi yang paling bawah sedangkan kepala mereka sampai kepada ‘Arsy Allah Swt. Padahal riwayat ini termasuk dari riwayat yang cacat.
2. Terdapat di dalamnya beberapa hadit dha‘if dan maudhu‘.
3. Imam Qurtubi juga menuqil dari berbagai rujukan tanpa diberi keterangan di dalamnya.

Demikianlah diantara kekurangan yang ada dalan buku tafsir Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran. Paradigma imam Qurtubi berpengaruh pada tulisan beliau dalam menafsirkan al-Qur'an hal ini seirama dengan yang tulisan Drs. H. Imam Sayuti Farid, SH Dosen IAIN Surabaya (Paradigma Tafsir Dakwah: Pendekatan Konseling) bahwa; Paradigma yang memandang bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, yang oleh karenanya, yang mengetahui kebenaran maknanya hanya Allah semata. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui maknanya diperlukan otoritas-otoritas tertentu yang telah diakui dekat dengan Allah, yakni al-Qur’an sendiri, Nabi Saw, Sahabat dan Tabi’in. Dari pandangan seperti inilah nantinya dikenal corak penafsiran bil ma’tsur. Metode yang dipakai adalah metode periwayatan (manqul). Apabila tidak menemukan penjelasan dari otoritas-otoritas tersebut –setelah memeriksanya secara berjenjang dari pertama sampai terakhir– maka mereka akan menafsirkan berdasarkan makna langsung (mantuq=literal) nya. Peranan akal disini sangat kecil, dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat audiens .

E. Keuntungan Mempelajari Tafsir Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran
Setelah mendiskusikan kelebihan dan kekurangan yang ada pada buku tafsir Qurtubi, sekarang mari kita beralih mengenai keuntungannya jikalau mengkajinya lebih dalam. Di antara keuntungan bagi kita –masih mengacu pada tulisan Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawy- yaitu:
 Ketelitian dalam menverifikasi nash, karena buku tafsir ini telah dicetak beberapa kali sebagai koreksi dari berbagai kesalahan. Maka sudah seharusnya bagi kita meneliti keabsahan cetakan tersebut.
 Mengetahui kecocokkan ayat dengan suratnya.
 Mengetahui takhrij bacaan (ilmu Qirâ'at) dari buku-buku Qirâ'at dan buku-buku makna al-Quran.
 Mengetahui takhrij hadits-hadits Nabi Saw. dari buku-buku al-Sunnah dan lainnya.
 Mengetahui takhrij peninggalan-peninggalan terdahulu dalam tafsir tersebut dan mengetahui keberadaan teritorinya.
 Mengetahui berbagai pendapat, hukum dan bahasa yang diungkapkan Imam Qurtubi.
 Mengetahui dari pentahkik yang telah menerangkan sebagian kata-kata yang asing serta istilah-istilah ilmiyah dalam tafsir beliau.

F. Ikhtitam
Demingkian Abu ‘Abdillah mengarang buku tafsir "Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran". Tak dipungkiri lagi dari ke-empat hal di atas -sebagai seorang muslim - sudah menjadi kewajiban kita meneruskan perjuangan beliau dalam mempertahankan keakuratan data tafsir al-Quran, menelaah, memahami dan mengamalkannya. Bukan hanya dipelajari untuk sekedar paham, melainkan untuk diamalkan karena demikianlah para sahabat dan ulama-ulama salaf dalam mempelajari al-Qur'an. Dari pemaparan singkat ini tentunya masih banyak kekurangan, semoga tulisan ini bisa menjadi bahan kita berdiskusi dan berinstroming. Wallâhu a‘alamu bis Shawâb.
Bawwabah, 12 Ramadhan 1428 H.

Marâji‘ :

 Al-Quran Al-Karim
 Tafsir Al-Jami Li-Ahkam Al-Quran, vol. I, Imam Qurtubi, Maktabah Dar al-Hadits, Kairo, 2002
 Tsaqâfat al-Dâ‘iyyah, Dr. Yusuf Qaradhawi, Maktabah Wahbah, Kairo, 2004
 Manâhiju al-Mufasirîn, Syaikh Shâalih Āli Syaikh, www.alsalafia.com
 www.wikipedia.com
 http://ibnuabbas.wordpress.com
 www.tafseercomparison.org
 http://mhamzah.multiply.com/journal

Bookmark and Share

No comments: