Oleh : Andy Hariyono[1]
I.
Pendahuluan
Belum lama ini umat Islam di penjuru dunia
dikejutkan oleh film berjudul “Innocence
of Moslem” (IOM) yang disutradarai oleh orang asal Israel bernama Sam
Bacile. Film yang ber budget rendah tersebut mampu membangkitakan amarah umat
Islam sebagaimana karikatur Nabi Saw yang disebarkan di Denmark beberapa waktu
silam.
Berbagai aksi menjawab film
"penghinaan" atas Nabi Muhammad Saw yang tersebar dijejaring Youtube itu diantaranya; massa memenuhi kedubes AS di Kairo
dengan menurunkan bendera AS, Afghanistan memblokir situs Youtube, Dubes As
untuk Libya, disinyalir terbunuh karena dipicu (?) oleh video tersebut. Lebih
unik, Discover Islam di UK menjawabnya dengan membagikan lebih dari 100.000
Quran terjemah beserta biografi Nabi Saw secara gratis.
Sebagaimana disinyalir media harian Republika,
Protes terkait film tersebut tidak datang dari kalangan Muslim saja. Vatikan
juga mengutuk pembuat dan penyebar IOM, “Dampak berbahaya pelanggaran dan
hasutan terhadap kepekaan umat Islam sekali lagi jelas” kata juru bicara
Vatikan, Federico Lombardi. Begitu juga dengan Michael Melchior, seorang rabi
Ortodoks dan mantan menteri Israel juga mengutuk film tersebut, “Meskipun
kebebasan mengungkapkan pendapat dan hak menggunakan sindiran adalah prinsip
kudus demokrasi, kebebasan itu tidak boleh digunakan sebagai alasan umntuk
menyiarkan sampah dan lendir” ujarnya.[2]
Melihat fenomena yang beredar di atas, maka mempelajari
kehidupan Nabi Muhammad Saw, atau lebih familiar dengan sebutan Sirah Nabi Saw
adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi bagi penganut Agama
Islam khususnya. Karena, hanya dengan cara yang benar dalam mengenal Nabi Saw –lah
solusi bagi setiap generasi untuk menjaga kehormatan nabinya dan agamanya.
Untuk mempermudah kita dalam diskusi ini,
penulis hendak mengajak pembaca untuk mengingat ulang Islam di era Nabi Saw
beserta Khulafu’r Rasyidin. Diantara poin yang hendak penulis ajukan pada
makalah kali ini ialah; 1. Rasulullah Saw di Mekkah 2. Rasulullah Saw di
Madinah 3. Islam di Era Khulafau’r Rasyidin.
II.
Rasulullah Saw di Mekah
Pada Poin pertama ini, penulis hendak
menyajikan beberapa hal yang berkaitan dengan nabi Muhammad Saw ketika berada
di Mekkah, baik sebelum masa kerasulan ataupun sesudahnya. Diantara pembahasan
yang hendak penulis sampaikan di sini ialah; 1.Silsilah Keturunan Muhammad Saw
bin Abdullah. 2. Muhammad Saw sebelum Kerasulan. 3. Muhammad Saw setelah
Kerasulan di Mekah.
2.1. Silsilah Keturunan Muhammad Saw
Muhammad Saw bin Abdullah merupakan keturunan
Qurasiy. Sebagaimana keterangan dari J Suyuthi Pulungan, Qurasiy adalah gelaran
yang diberikan kepada Fihr. Quraisy dalam bahasa Arab lama berarti pedagang.
Memang anak keturunan Fihr adalah pedagang-pedagang yang terampil di Mekah, dan
nama Qurasiy diabadikan dalam Al-Quran, surat Qurasiy dalam kaitannya dengan
kegiatan perdagangan.[3]
Maka tidak heran bila baginda Muhammad Saw
merupakan orang terhormat dari keluarga terhormat, yakni Quraisy. Berikut
hadits riwayat Imam At’ Tirmidzi dalam sunanya, “ Sesungguhnya Allah telah
memilih Ismai’il diantara anak-anak Ibrahim, kemudian memilih Kinanah di antara
anak-anak keturunan Ismai’il, kemudian memilih Qurasy di antara Bani Kinanah,
kemudian memilih Bani Hasyim di antara Bani Kinanah, kemudian memilih aku di
antara Bani Hasyim.”[4]
Dan juga Abbas bin Abdul Muthollib berkata,
bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menciptakan
makhluk, lalu menjadikan aku termasuk dari kelompok mereka yang terbaik.
Kemudian, dipilihlah kabilah-kabilah, maka Dia menjadikan aku termasuk dari
keluarga yang terbaik. Maka, saya adalah orang yang terbaik di antara mereka,
dalam hal pribadi dan keluarga.”[5]
Berikut silsilah keturunan Nabi Saw dari jalur
bapaknya: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthollib (namanya Syaibah) bin
Hasyim (namanya Amru) bin Abdi Manaf (namanya Mughirah) bin Qushay (namanya
Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr (dialah yang
disebut Quraisy dan kepadanya penisbatan kabilan Quraisy) bin Malik bin Nadlar
bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mu’id bin Adnan.[6] Di
lain riwayat ada yang menuliskan Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudlor
bin Nizar bin Mu’id bin Adnan.[7] Nama
Mu’id terjadi perbedaan penulisan, ada yang menuliskan Mu’ad bin Adnan[8]
dan Ma’ad.[9] Ibunya
bernama Aminah binti Wahab bin Abd’l Manaf bin Zuhroh bin Kilab bin Murrah. Di garis
keturunan kelima inilah, yakni Kilab bin Murrah, kedua orang tua Nabi Saw
bertemu.[10]
Banyak perbedaan riwayat yang meyebutkan nasab Rasulullah Saw sampai
ke Nabi Ismail a.s. namun, tidak satu pun orang yang berselisih pendapat bahwa
Adanan merupakan keturunan Isma’il a.s, mereka hanya berbeda antara Adnan dan
Ismai’il.[11]
Imam Thobari mengatakan: “Abdullah adalah
ayahanda Rasulullah Saw merupakan anak laki-laki bungsu dari bapaknya.
Abdullah, Zubair, Abdi Manaf yakni Abu
Tholib merupakan anak-anak Abdul Muthollib yang seibu. Ini menurut riwayat Ibnu
Ishak.”[12]
Abdul Muthollib, kakek Rasulullah Saw, menemui
Wahab bin Abd Manaf untuk menikahkan Abdullah dengan Aminah. Unikanya, di
majlis pernikahan ayahanda Rasulullah Saw, kakeknya pun menikahi Halah binti
Uhaib, putri dari pamannya. Karena di masa itu belum ada larangan untuk
menikahi anak paman, dan juga sudah menjadi tradisi bangsa Arab tempo dulu
memiliki istri lebih dari satu. Jadi,dalam satu Majelis, terdapat dua
pernikahan. Yakni pernikahan ayahanda Rasulullah Saw dan kakeknya. Sehingga
ketika Aminah binti Wahab melahirkan Rasulullah Saw, Halah pun melahirkan
Hamzah dan Sofiyah.[13]
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw lahir dari pernikahan bukan dari
perzinahan.
Diantara hal yang berkaitan dengan nasab Nabi
Saw ialah, bahwa Muhammad Saw adalah anak dari dua orang yang dikurbankan, Hal
ini sebagaimana diceritakan Imam Al Hakim dalam kitab Mustadraknya, dimana
seorang Arab datang kepada Rasulullah Saw mengadu prihal masa paceklik. Seru
orang Arab tersebut, “Hai anak dua orang yang dikurbankan”. Maka
Rasulullah Saw pun tersenyum tanpa membantah panggilan tersebut. Muawiyah pun
bertanya, apa itu dua kurban? Bersabda Rasulullah Saw,
“ Sesungguhnya Abdul Muthallib ketika penggalian Zamzam ia
bernadzar, jika Allah Swt mempermudah urusannya maka ia akan mengurbankan
sebagian dari anak laki-lakinya, kemudian Abdullah mengeluarkan anak-anaknya
dan mengundinya dengan anak panah. Kemudian keluarlah anak panah yang
bertuliskan Abdullah, maka Abdul Muthollib pun ingin menyembelihnya, namun
saudaranya dari pihak ibu , yaitu dari Bani Makhzum mencegahnya.”
Hemat cerita, hadits di atas menunjukkan bahwa
Abdullah adalah anak Abdul Muthallib yang akan ia kurbankan. Adapun kurban yang
kedua nabi pun bersabda di akhir hadits “ Dan yang kedua adalah Ismail”.[14] Atau dalam riwayat lain disebutkan,“Saya
adalah dua orang yang dikurbankan.” “Yaitu Ismail dan Bapaknya Abdullah”.[15]
Begitulah setidaknya kondisi bangsa Arab pra Rasulullah Saw dilahirkan, dimana
Pola atau sistem sosialnya bersifat paternalistik dan ikatan primordialnya
cukup kuat.[16]
2.2. Muhammad Saw sebelum Kerasulan
Diceritakan oleh Imam Muslim dalam Sahihnya
dari hadits Abi Qotadah Al Anshari r.a bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya
mengenai puasa pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: “Di hari itulah
saya dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku”.[17]
Demikianlah, di hari Senin lahir Muhammad Saw di Mekkah, 9 rabiul awal, tahun
pertama terjadinya peristiwa gajah, dan empat puluh tahu masa kekuasaan Kisra
Anusyirwan. Hal itu bertepatan dengan 20 atau 22 April 571 M.[18]
Di saat Rasulullah Saw lahir, Ayahandanya
sudah tidak berada di sisi Aminah. Terjadi perbedaan riwayat dalam hal ini, ada
yang mengatakan Abdullah meninggal sebelum kelahiran Rasulullah Saw, dan ada
yang mengatakan dia meninggal dua bulan setelah kelahiran beliau.[19]
Adapun harta peninggalannya adalah lima ekor onta, beberapa ekor kambing,
seorang budak wanita bernama Barakah yang naman panggilannya Ummu Aiman. Ummu
Aiman adalah ibu susu Rasulullah Saw. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi warisan
di masyarakat Arab yang tandus sudah ada di zaman sebelum kenabian.
Diantara kondisi nabi Muhammad Saw pasca
kelahirannya ialah; Yatim, penggembala kambing,Orang yang dipercaya, dan Ummi
(tidak bisa baca tulis). Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa Abdullah bin
Abdul Muthallib meninggalkannya sebelum Rasulullah Saw lahir.
Sesuai dengan adat kebiasaan di kalangan
bangsawan Arab, Muhammad Saw hanya beberapa hari disusukan oleh ibunya Aminah.
Kemudian Muhammad Saw disusukan oleh
Tsuwaibah selama seminggu. Selanjutnya oleh Halimah, seorang wanita
Badui selama empat tahun.[20]
Ummu Aiman pun terhitung sebagai ibu susu Rasulullah Saw.[21]
Di masa kecilnya Rasulullah Saw sudah
menggembala kambing Bani Sa’ad, kemudian ketika remaja beliau Saw
menggembalanya di Mekkah. Begitulah para nabi-nabi sebelumnya diutus, yakni
dengan menggembala kambing, termasuk Rasulullah Saw.[22]
Hikmah dari gembala kambing ini, seakan-akan
Allah Swt memberikan persiapan kepada Rasulullah Saw berupa kejelian, siap
siaga, kesabaran dan ketelitian. Karena penggembala haruslah jeli dan siap
siaga menjaga kambing-kambingnya dari hewan liar yang lain, dan dibutuhkan
kesabaran yang luar bisa dengan menggiring kambing-kambing tersebut agar tidak
membuat kekacauan, juga ketelitian dalam memberikan makan dan minum.
Rasulullah Saw seorang perkerja yang mandiri
dengan mata pencarian pengembala, dan pekerjaan itu tidak menjadikan derajat
Rasulullah Saw sebagai suku terhormat menjadi rendah.[23] Dari sini tampak jelas bahwa Allah Swt
mendidik kepiawian Rasulullah Saw sebelum masa kerasulan.
Setelah Rasulullah Saw beranjak remaja, masyarakat Quraisy membangun Ka’bah. Sebab Ka’bah tadinya hanya tumpukan batu, tingginya
sembilan hasta, sejak masa Ismai’il. Karena ingin merenovasi Ka’bah, maka suku
Quraisy bersepakat, yang boleh ikut membangun hanya orang-orang baik. Pezina,
rentenir, dan orang yang zhalim tidak boleh ikut membangun. Mereka takut untuk
menghancurkan Ka’bah. Kemudian mereka pun membangunnya.[24]Namun, tatkala pembangunan itu sampai pada
peletakkan kembali hajar aswad, mereka berelisih siapa yang berhak
meletakkannya di tempat semula.
Perselisihan berlangsung selama empat sampai
lima hari, dan memuncak hingga hampir
saja menimbulkan
peperangan di tanah suci. Dan itu berhasil diselesaikan setelah
Umayyah bin al Mughirah al Makhzumi mengusulkan agar mencari penyelesaian
dengan jalan menyerahkan keputusan atas persoalan yang dipersilishkan itu
kepada orang pertama yang akan mendatangai Ka’bah melalui pintu masjid. Mereka menyetujuinya.
Atas kehendak Allah, orang pertama yang masuk melalui
pintu tersebut adalah Rasulullah Saw. Ketika mereka melihat beliau Saw yang masuk,
mereka mengatakan, “inilah dia orang yang terpercaya, kami rela menerima keputusannya; inilah dia Muhammad (Saw).”[25]
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw sudah dikenal sebagai orang yeng
terpercaya, jauh sebelum masa kerasulan.
Dan yang perlu diketahui, bahwasanya bangsa
Arab merupakan bangsa yang Umi, yaitu bangsa yang mayoritas tidak dapat membaca dan
menulis. Akan tetapi Allah Swt melimpahkan anugrah yang luar biasa kepada bangsa
Arab, yakni dengan kecerdasan akal dan kuatnya hapalan. Hal ini tampak pada
kelihaian mereka dalam membuat syair-syair yang mereka buat di kesehariannya,
dan tampak pula di penjagaan hapalan mereka terhadap nasab atau garis keturunannya.[26]
Rasulullah Saw disamping lahir dalam keadaan
yatim, dari kecil sudah mencari mata pencaharian sendiri dengan mengembala
kambing dan mashur dengan kejujurannya di kalangan penduduk pada masa itu, Nabi
Saw juga bagian dari masyarakat yang Umi. Hal ini tertuangkan dalam ayat
Al-Quran yang maksudnya, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
(Umi) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah).
Dan sesungguhnya mereka sebelumnya, benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.[27]
Allah Swt mempunyai rencana yang sangat luar
biasa dimana Rasulullah Saw diletakkan di kaum yang mayoritas tidak bisa baca
tulis, pernah suatu ketika Rasulullah Saw berbicara mengenai bulan qomariyah,
bahwa ianya tidak lebih dari 30 malam dan tidak kurang dari 29 malam.
Sebagaimana riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi Saw bersabda; “Kita adalah kaum
Umi, tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung. Satu bulan itu jumlah
harinya segini dan segini, [Rasulullah
Saw mengisyaratkan dengan jari-jarinya] yaitu sekali berjumlah dua puluh
sebilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari”[28]
Ketika usia Rasulullah Saw hampir mencapai
empat puluh tahun, sementara pengamatan yang senantiasa beliau Saw lakukan telah menadi jurang perpisahan pikiran yang lebar antara beliau Saw dan kaumnya, maka beliau Saw digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khala’
(menyendiri). Dengan berbekal makanan tepung dan air, pergi menyendiri ke gua
Hira; di gunung An’ Nur. Letak Gua Hira sekitar dua mil dari kota Mekkah, dan
merupakan gua kecil yang panjangnya 4 hasta, dan lebarnya ¾ hasta (satu hasta =
64 cm). Hal ini terjadi di bulan Ramadlan.
Aktifitas Nabi Saw di saat khalwat antaralain
memberi makan orang-orang miskin yang datang kepadanya, menghabiskan waktunya
untuk beribadah, dan memikirkan hal-hal yang ada di sekitarnya berupa fenomena
alam dan kekuatan besar yang ada di baliknya. Ketidak tenangannya terhadap
keyakinan-keyakinan yang dianut oleh kaumnya, berikut konsepsi-konesepsiya yang
lemah. Namun, dihadapan beliau tidak ada jalan yang jelas, yang dapat
menentramkan jiwanya.[29]
Al Hafidz Ibnu Hajar mengomentari khalwatnya
Rasulullah Saw, bahwa banyak orang yang menyendiri di gua hira di bulan
Ramadlan, dan itu dilakukan oleh kaum Quraisy, sebagaimana mereka melakukan puasa
Asyuro. Makanya, mereka tidak menyelesihi Nabi Saw (ketika nabi berkhalwat),
karena Abdul Muthollib, kakek Nabi Saw, adalah orang Quraisy pertama yang
berkhalwat di gua Hira, dan Rasulullah Saw menyendiri di tempat kakenya
menyendiri. Berkata Ibnu Abi Jamroh: “Hikmah
dari khalwatnya Rasulullah Saw di gua Hira ialah; memungkinkan untuk melihat
ka’bah, maka berkumpul tiga ibadah sekaligus di saat khalwat itu, yakni;
Khalwat, Ibadah, dan Melihat Ka’bah”.[30]
Pada waktu menyendiri inilah, Jibril a.s
meyampaikan wahyu pertama kepada Muhammad Saw secara tiba-tiba dan menyerunya
membaca “Iqra’” Bacalah! dan Rasulullah Saw menjawab “Ma Ana bi Qoori’”
artinya: Aku tidak bagus dalam membaca.[31]
Dan seterusnya hingga ayat ke lima dari surat Al-Alaq.
2.3. Muhammad Saw (setelah Kerasulan) di Mekah
Berbagai pendapat muncul di awal masa dakwah.
Ada yang mengatakan tiga tahun pertama, dakawah Islam dilakukan secara
sembunyi-sembunyi.[32] Hal ini menurut riwayat Ibnu Ishak. Namun dalam kajian analisis sirah,
Sowabi menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah dakwah secara sembunyi-sembunyi,
bahkan dari awal Islam, dakwah sudah mulai terang-terangan, hanya saja Nabi Saw
menyuruh para sahabatnya untuk diam-diam melakukan ibadah, demi menjaga
kesalamat mereka. Namun dakwahnya tetap secara terang-terangan.[33]
Perbedaan dakwah secara sembunyi-sembunyi
berimplikasi pada anggapan bahwa kebenaran yang diwahyukan kenapa harus
disembunyikan? Hal ini masih perlu kajian lebih lanjut.
Rasulullah Saw mengawali seruan dakwah Islam dan
lebih dari enam puluh sahabat yang masuk Islam, dan jumlah tersebut sebelum
sentral dakwah Islam berada di rumah Al arqom bin Abi’l Arqom. Diantara mereka
yang telah Islam adalah; Ummu’l Mu’minin Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin
Haritsah, Abu Bakar, Utsman, Zubair, Abduurahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqos,
Tolhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abu Salamah, Al-Arqom bin Abi’l
Arqom, Ubaidah bin Harits, Sai’id bin Zaid dan istrinya Fatimah, Ibnu Mas’ud,
Iyas bin Abi Robiah, Abdullah bin Jahs, Muammar bin Harits, Hathib bin Amru,
Waqid bin Abdullah bin Manaf, Utsman bin Madzun dan dua saudaranya Abdullah dan
Qudamah, Amir bin Robi’ah dan Khonis bin
Khudzafah.[34]
Di Mekah inilah Rasulullah Saw membentuk
karakter para sahabat sebagai kader-kader dakwah Islam yang nantinya sangat
berperan mentransformasikan agama hanif
ini di masa setelahnya. Tak terelakan, berbagai cobaan didera oleh para sahabat
menghadapi tantangan kaum Quraisy, bahkan Nabi Saw sendiri merasakan hal yang
sama, walaupun sebelum kerasulan, mereka mengakui sepenuhnya akan kejujuran
Muhammad Saw.
Pernah suatu ketika Abu Jahal pamannya sendiri
menyakiti Rasulullah Saw dan menghinanya, hal tersebut diketahui oleh Hamzah
r.a yang juga paman beliau. Hamzah pun mendatangi Abu Jahal, dan berkata; “Kamu
berani memaki-maki kemenakanku, ketahuilah aku telah memeluk agamanya?!”. Akhirnya
Allah Swt pun menguatkan umat Islam dengan Hamzah r.a hingga ia mendapat
julukan “Singa Allah”.[35]
Tidak lama setelah Islamnya Hamzah r. a. Allah
Swt menambah kabar gembira lagi dengan Islamnya Umar bin Khattab r.a, sehingga
para sahabat sudah berani shalat terang-terangan di dekat Ka’bah pasca Islamnya
Umar r.a. Bahkan ketika Umar memeluk Islam, para sahabat berani mengadakan halaqah di sekitar Ka’bah, melakukan
thawaf, membalas orang-orang yang berbuat keras terhadap mereka, dan menolak
sebagian perbuatan buruk mereka.[36] Namun demikan, bukan berarti gangguan penduduk
Mekah yang belum beriman telah berakhir, karena rintangan yang luar biasa hebat
di tanah haram ini, Rasulullah Saw pun meyuruh para sahabat untuk hijrah ke
Habasyah.
Di Habasyah inilah mereka ketemu raja adil beragama Nasrani dan
nantinya memeluk Islam. Hal ini dibuktikan dengan shalat nabi ketika kematian
raja tersebut; “Sesungguhnya saudara kalian yang saleh dari Habasyah telah
meninggal.”sabda Nabi Saw.
Berangnya Quraisy terhadap umat Islam kian bertambah
terlebih ketika mereka mengetahui bahwa raja Nasrani di Habasyah yang menjadi
sekutu dagang mereka memberikan perlindungan kepada kaum Muslimin, “Silahkan
kalian (kaum Muslimin) pergi dengan aman. Siapa pun yang mencela kalian akan
didenda. Aku tidak suka menerima emas walau sebesar gunung sebagai imbalan
menyakiti salah seorang dari kalian”. Ujar raja Nasrani ini. [37]
Tidak hanya itu, Bani Hasyim dan Bani Muthollib baik yang muslim maupun yang
kafir juga memberikan perlindungan kepada Muhammad Saw di Mekah, hingga kaum musrikin bersekongkol untuk
memboikot Muhammad Saw dan siapa saja yang mengikutinya maupun menolongnya,
termasuk dari Bani Hasyim dan Bani Muthollib.
Beberapa kejahatan pun mereka
ciptakan, diantaranya ialah; Tidak menikah dengan Bani Hasyim dan Bani Muthallib; Tidak
melakukan jual beli dengan mereka; tidak masuk ke dalam rumah-rumah mereka; dan
tidak berbicara dengan mereka. Beberapa poin diatas ditulis dalam sebuah naskah
perjanjian dan mereka jalankan hingga Rasulullah Saw menyerahkan dirinya kepada
kaum musrikin untuk dibunuh.
Peristiwa pemboikotan massal ini akhirnya
terhenti ketika naskah perjanjian yang mereka buat ternyata telah rapuh dimakan
rayap kecuali kata yang di dalamnya terdapat nama Allah Swt. Kabar rapuhnya
naskah ini telah diberitahu Rasulullah Saw sebelumnya kepada Abu Thalib, dan
terjadilah dialog antara Abu Thalib dengan para pemboikot mengenai berita
naskah yang rapuh tersebut.
Berita yang sampai tersebut memiliki implikasi yang kuat terhadap hubungan Bani Hasyim dan Bani Muthollib dengan kaum
musyrikin yang memboikot Rasulullah Saw. Jika berita itu salah maka Rasulullah
Saw akan diserahkan kepada kaum musyrikin, namun jika benar maka kaum musyrikin
harus menghentikan pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Benarlah berita tersebut jadinya, setelah kaum
musrikin melihatnya, Allah Swt pun menunjukkan kebenaran Utusan-Nya di muka
bumi. Ternyata naskah yang mereka buat hampir punah dimakan rayap kecuali kata
yang bertuliskan “Bismikallahumma”.[38]
Setelah pemboikotan massal berakhir,
Rasulullah Saw pun mengalami tahun duka cita. Dimana pada tahun itu, Abu Thalib
menjumpai ajalnya, dan Khadijah r.a. pun berpulang ke rahmatullah. Tak ayal
lagi, setelah kematian Abu Thalib, kaum musyrikin semakin berani kepada Beliau, hingga
Rasulullah Saw pun pergi ke Thaif dengan harapan agar penduduk Thaif mau
beriman kepadanya. Wal hasil, fakta di lapangan ternyata jauh dari yang
diharapkan Baginda Saw, penduduk Thaif malah menyakiti Beliau Saw dan bahkan
lebih parah ketimbang yang diterima dari kaumnya.
Demikianlah gambaran Rasulullah Saw di Mekah
setelah masa Kerasulan. Kepergiannya ke Thaif seakan-akan memberikan isyarat
untuk mempersiapkan diri dalam hijrah berikutnya, yang mana kaum muslimin
secara besar-besaran pergi berbondong-bondong menuju Madinah dengan disusul
kemudian oleh Nabi Saw dan Abu Bakar Sidiq r.a.
III.
Rasulullah SAW di Madinah
Hijrah ke Madinah bukanlah hijrah yang serta
merta pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi, Rasulullah Saw
dan kaum mu’minin sudah mengetahui sebelumnya bahwa mayoritas penduduk Madinah,
yang waktu itu bernama Yatsrib, beriman dengan Tauhid yang Nabi Saw sampaikan.
Demikian pesat perkembangan Islam di sana,
hingga Rasulullah Saw dapat leluasa
meletakkan dasar-dasar bernegara, mensinergikan akidah dengan ibadah, interaksi
sosial antar agama. Seakan-akan Yatsrib menjadi titik balik yang luar biasa
bagi dakwah Rasulullah Saw. Dari sini, tidak heran jika jauh-jauh hari Waroqoh
berkata; “Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir
oleh kaummu”
Bertanya Rasulullah Saw, “Apakah mereka
akan mengusirku?” Waraqoh menjawab, “Ya. Tak seorangpun yang datang
membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku
masih hidup dan mengalami hari yang kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat
tenagaku.”[39]
Menurut J. Suyuthi Pulungan, dalam bukunya
Sejarah Peradaban Islam, ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan Islam
begitu pesat di Yatsrib. Karena orang-orang Arab di kota itu telah mengetahui
akan datangnya seorang Rasul terakhir. Informasi itu mereka tahu dari
orang-orang Yahudi. Suku Khazraj dan Aus yang selalu bermusuhan menginginkan
munculnya seorang pemimpin yang dapat mempersatukan mereka. Kondisi itu membuat
mereka saling berlomba masuk Islam agar tidak didahului orang Yahudi. Di
kalangan para pemuka masyarakat setempat tumbuh keyakinan kuat bahwa dengan
masuk Islam mereka terbebas dari segala penderitaan akibat permusuhan.
Tidak hanya itu, lanjut penjelasan Jalaludin,
sikap tersebut membuat mereka terbuka. Berbeda dengan penduduk Mekah pada
umumnya bersikap tertutup. Sebab mereka menilai bahwa agama baru itu akan
menghancurkan tradisi-tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, status
dan kehormatan. Sedang Islam datang membawa ajaran persamaan diantara segenap manusia.[40]
Masa kerasulan di Madinah atau sering dikenal
di buku-buku sejarah Islam dengan nama Periode Madinah ini menyisakan
rekaman-rekaman pristiwa dakwah yang sangat penting, diantaranya ialah; Diawal
tahun hijrah saja persaudaraan antara pendatang dan pribumi sudah sangat
kental, di tahun kedua dari Hijrah pasukan kaum Muslimin sudah meulai berperang
diantaranya Perang Badar yang menentukan masa depan kaum Muslimin, sistem
ekonomi yang egaliter pun sudah mulai dibangun pada masa itu dengan bentuk
zakat dan kenduri besar-besaran yakni disyariatkannya shalat Ied walaupun bagi
perempuan yang sedang haid datang untuk menghadiri saja.
Dua tahun dari pristiwa hijrah sudah tampak
jelas, betapa pesat perkembangan agama hebat ini. Kendati demikian, Allah Swt
selalu mengawal dan menuntun mereka ke jalan dakwah. Hal ini tampak ketika
perang Uhud terjadi, dimana banyak para syuhada berjatuhan pada saat itu, dan
Allah Swt menurunkan sekitar 60 ayat dari surat Ali Imron, yakni ayat 121 -179,
yang membicarakan pristiwa Uhud.[41]
Begitulah setidaknya kejadian di awal-awal
periode Madinah. Dan terdapat berbagai rangkaian pristiwa lain pasca perang
Uhud tersebut, yang mana rangkaian-rangkaian peritiwa ini mampu membentuk kaum
muslimin menjadi pribadi-pribadi unggul pada masa itu. Seperit lahirnya
Konstitusi Madinah, atau yang dikenal sebagai Piagam Madinah sebagai
rambu-rambu dalam hidup berwarga dan bernegara.
Pentingnya konstitusi tersebut untuk membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara pun terlihat ketika setiap warga, tanpa
memandang agamanya, mendapatakn hak jika menjalankan kewajiban yang telah
disepakati di Piagam Madinah. Hal ini menjadikan bagsa Arab yang biasanya hidup
bersuku-suku,menjadi hidup berjama’ah dalam bendera Islam. Tidak cukup sampai
di situ, kabar gembira wahyu bahwa imperium Romawi akan takluk di tangan kaum
muslimin, juga kabar bahwa mereka akan memasuki Mekah dengan damai pun menjadi
motivasi untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah.
Puncaknya pada Pembebasan kota Mekkah, dimana
penaklukan Mekah merupakan kemenagan terbesar Rasulullah Saw, Allah memuliakan
agama, Rasul dan para tentaranya yang terpercaya. Dengan pembebasan ini pula,
Allah Swt menyelamatkan negeri dan rumah-Nya (Mekah), dimana seluruh penduduk
langit pun menyambut kemenangan ini dengan gembira, dan membuat manusia
memasuki agama Allah secara berbondong-bondong kata Ibnu Qoyim Al-Jauziyah.
Demikianlah akhirnya perjuangan Rasulullah Saw
hingga Allah Swt memindahkannya ke sisi-Nya. Sepeninggalan Rasulullah Saw,
setidaknya terdapat perubahan baik di sektor adat-istiadat, kebudayaan,
peribadatan, tata pergaulan yang dilandasai dengan Al-Quran dan Hadits.
Perubahan itu juga paling tidak, menurut Ahmad Amin terdiri dari dua segi [42]:
1. Segi Langsung, dimana ajaran-ajaran Islam baik akidah maupun Syariah
langsung mengubah kepercayaan banga Arab yang syirik menjadi bangsa yang
bertauhid murni.
2. Segi tak langsung, Islam telah memberi kemungkinan bagi bangsa Arab untuk
menaklukan Kerajaan Persia dan daerah-daerah Kloni kerajaan Romawi, dua
kerajaan besar saat itu.
Begitu juga perkembangan peradaban Islam masa
Rasulullah Saw, baru tampak pada periode Madinah setelah berdiri Negara Madinah
yang berlangsung selama kurun waktu sepuluh tahun. Suyuti menuliskan paling
tidak ada delapan poin bentuk peradaban yang dibangun di masa Rasulullah Saw,
yaitu;
1. Menata tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan dan sosial politik yang
harmonis dengan mempersatukan kaum Anshar dan kaum Muhairin sebagai satu umat
melalui persaudaraan di satu pihak, dan mempersatukan antara kaum muslimin
dengan komunitas non muslim sebagai satu umat, sehingga menjadi satu bangsa
yang berpemerintahan.
2. Membangun masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat.
3. Membudayakan musyawarah di lingkungan masyarakat Islam untuk memecahkan
urusan mereka.
4. Meneruskan budaya menghafal untuk menghafal ayat-ayat Al-Quran.
5. Membuat tradisi baru, yaitu mencatat dan menulis untuk kepentingan menulis
wahyu dan hadits pada benda-benda seperti kulit, tulang dan pelepah kurma.
6. Mendorong kaum muslimin untuk memiliki kepandaian tulis baca. Hal ini
dilakukan oleh Nabi Saw ketika menyikapi para tawanan perang pada pembebasa
kota Mekah.
7. Membangun politik dan pemerintahan berdasarkan undang-indang yang disebut
Piagam Madinah.
8. Membangun pengadilan dan baitul mal yang mengelola keuangan negara dalam
hal pemasukan dan penggunaannya.
IV.
Islam Era Khulafaur’ Rasyidin
Pada era empat khalifah besar umat Islam,
yaitu: Abu Bakar Sidik, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib –radiyallahu anhum- umat Islam berada dalam masa-masa pembentukan
sistem negara yang sesuai dengan Islam, yang mana kerangka dasar dari konsep
tersebut sudah diaplikasikan di masa Rasulullah Saw.
Seperti masa Khalifah Abu Bakar Sidiq r.a,
dimana para pejabat negara belum mendapat santunan (gaji) dari negara, sehingga
di masa Kekhalifahan Umar bin Khatab r.a hal tersebut baru dapat diaplikasikan.
Kendati demikan, tradisi musyawarah yang lebih demokratis dalam pemerintahan
tetap dibangun di masa kekhalifaha Abu Bakar Sidiq
Begitu juga dengan loyalitas kaum
muslimin.benar-benar discreaning oleh Abu Bakar r.a, hal tersebut tampak ketika
Abu Bakar r.a menindak tegas sebagian kelompok yang memisahkan diri dari mayoritas
umat Islam dan enggan untuk membayar Zakat.Disamping itu, pengumpulan Al-Quran
dalam satu tempat pun terasa hasilnya hingga saat ini.
Di masa Umar bin Khattab, Islam tersebar lebih
luas dibandingakan masa Abu Bakar Sidiq r.a, dan kaum muslimin masih berada
dalam satu kesatuan yang utuh. Banyak hal yang diwariskan dari pemerintahan
pemimpin fenomenal ini, diantaranya ialah; menata pranata sosial di bidang
politik dan pemerintahan, ekonomi, hukum; membangun irigasi pertanian;
membangun gedung-gedung sipil dan pemerintahan; dan tidak ketinggalan, Umar
memerintahkan untuk membuat tata baha Arab sebagai pedoman dalam memahami
Al-Quran dan Hadis, dan untuk pengajaran Islam di luar Jazirah Arab dikirim
para sahabat yang ahli ilmu, sehingga ilmu keislaman berkembang dan melahirkan
banyak ulama.[43]
Setelah periode Umar bin Khatab, Utsman pun
terpilih secara aklamasi oleh tim formatur bentukan Umar r.a. Di era ini Islam
tersebar luas hingga Armenia, Kaukus, Bulukhistan, Afghanistan, Azarbaijan,
Kurdistan, Jeart, Tus dan Naisabur, Tunia (Afrika), Tabaristan, Turki, Persia
hingga ke Kabul[44]
Tidak hanya itu, Utsman pun mewarisi umat
Islam dengan kodifikasi Al-Quran, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Sehingga
perselisihan perbedaan dalam membaca pun teratasi dengan adanya penyeragaman
bacaan tersebut.
Periode akhir dari Khulafau’r Rasyidin
ditandai dengan berakhirnya masa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana pasca syahidnya
Utsman bin Affan menyisakan berbagai problem sosial yang hingga saat ini
menjadi perdebatan dalam kajian sejarah umat Islam. Para ahli sejara memberi
istilah, fitnah al-Kubra atau Fitnah yang besar untuk pristiwa syahidnya Utsman
bin Affan.
Fitnah tersebut berimplikasi kepada
pemerintahan Ali bin Abi Thalib, sehingga di periode akhir khilafah ini,
terjadi perselisihan Sifin dan Jamal yang tak terelakkan. Namun demikian,
ekspansi Islam pun tetap berjalan
V.
Penutup
Akhirnya, semoga uraian di atas dapat
merangsang kita semua untuk terus menekuni dan mengkaji kembali sejarah dan
peradaban Islam pada era-era awal berdirinya. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam tulisan ini, mudah-mudahan kekurangan yang ada dapat menjadi
bahan diskusi yang bernilai positif nantinya.
Daftar Pustaka
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi 2005. Daarul Hadits,
Kairo
Amin, Samsul Munir, 2002. Sejarah Peradaban
Islam, Amzah, Jakarta.
Muhammad, Ali Jum’ah,2010. Man Nabiyyuka? Huwa Sayyiduna Muhammad Al
Musthofa Daaru’l Jawaami’il
Kalam, Kairo
Musayyar , Muhammad Sayid Ahmad, 1987. Ar’ Rasul wa’l
Wahyu. Daaru’l Ibnu Katsir, Beirut
Pulungan, J.
Suyuthi, Sejarah Peradaban Islam 2012. Grafika Telindo Press Palembang
Sahih Bukhari, Kitab Shoum Bab Sabda Nabi Saw. “Kami
(kaum) yang tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung”
Showabi,Sa’id Muhammad Shaleh, 2008. Alma’inu’r Raiqu
Min Siirati Khoiri’l Khalaiq hal. 27
Mat’hba’ah Riswan, Mesir
Syaikh Syafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Arrahiqul
Makhtum Sejarah Hidup Muhammad (Saw) Sirah Nabawiyah 2002 hal. 46 Robbani
Press, Jakarta
http://www.republika.co.id/
No comments:
Post a Comment