Tuesday, March 12, 2013

PERADABAN DI MASA RASULULLAH (SAW) DAN KHULAFAURRASYIDIN


Oleh : Andy Hariyono[1]

I.            Pendahuluan
Belum lama ini umat Islam di penjuru dunia dikejutkan oleh film berjudul “Innocence of Moslem” (IOM) yang disutradarai oleh orang asal Israel bernama Sam Bacile. Film yang ber budget rendah tersebut mampu membangkitakan amarah umat Islam sebagaimana karikatur Nabi Saw yang disebarkan di Denmark beberapa waktu silam.

Berbagai aksi menjawab film "penghinaan" atas Nabi Muhammad Saw yang tersebar dijejaring  Youtube itu diantaranya; massa memenuhi kedubes AS di Kairo dengan menurunkan bendera AS, Afghanistan memblokir situs Youtube, Dubes As untuk Libya, disinyalir terbunuh karena dipicu (?) oleh video tersebut. Lebih unik, Discover Islam di UK menjawabnya dengan membagikan lebih dari 100.000 Quran terjemah beserta biografi Nabi Saw secara gratis.

Sebagaimana disinyalir media harian Republika, Protes terkait film tersebut tidak datang dari kalangan Muslim saja. Vatikan juga mengutuk pembuat dan penyebar IOM, “Dampak berbahaya pelanggaran dan hasutan terhadap kepekaan umat Islam sekali lagi jelas” kata juru bicara Vatikan, Federico Lombardi. Begitu juga dengan Michael Melchior, seorang rabi Ortodoks dan mantan menteri Israel juga mengutuk film tersebut, “Meskipun kebebasan mengungkapkan pendapat dan hak menggunakan sindiran adalah prinsip kudus demokrasi, kebebasan itu tidak boleh digunakan sebagai alasan umntuk menyiarkan sampah dan lendir” ujarnya.[2]

Melihat fenomena yang beredar di atas, maka mempelajari kehidupan Nabi Muhammad Saw, atau lebih familiar dengan sebutan Sirah Nabi Saw adalah suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi bagi penganut Agama Islam khususnya. Karena, hanya dengan cara yang benar dalam mengenal Nabi Saw –lah solusi bagi setiap generasi untuk menjaga kehormatan nabinya dan agamanya.

Untuk mempermudah kita dalam diskusi ini, penulis hendak mengajak pembaca untuk mengingat ulang Islam di era Nabi Saw beserta Khulafu’r Rasyidin. Diantara poin yang hendak penulis ajukan pada makalah kali ini ialah; 1. Rasulullah Saw di Mekkah 2. Rasulullah Saw di Madinah 3. Islam di Era Khulafau’r Rasyidin.

II.            Rasulullah Saw di Mekah
Pada Poin pertama ini, penulis hendak menyajikan beberapa hal yang berkaitan dengan nabi Muhammad Saw ketika berada di Mekkah, baik sebelum masa kerasulan ataupun sesudahnya. Diantara pembahasan yang hendak penulis sampaikan di sini ialah; 1.Silsilah Keturunan Muhammad Saw bin Abdullah. 2. Muhammad Saw sebelum Kerasulan. 3. Muhammad Saw setelah Kerasulan di Mekah.

2.1. Silsilah Keturunan Muhammad Saw
Muhammad Saw bin Abdullah merupakan keturunan Qurasiy. Sebagaimana keterangan dari J Suyuthi Pulungan, Qurasiy adalah gelaran yang diberikan kepada Fihr. Quraisy dalam bahasa Arab lama berarti pedagang. Memang anak keturunan Fihr adalah pedagang-pedagang yang terampil di Mekah, dan nama Qurasiy diabadikan dalam Al-Quran, surat Qurasiy dalam kaitannya dengan kegiatan perdagangan.[3]
Maka tidak heran bila baginda Muhammad Saw merupakan orang terhormat dari keluarga terhormat, yakni Quraisy. Berikut hadits riwayat Imam At’ Tirmidzi dalam sunanya, “ Sesungguhnya Allah telah memilih Ismai’il diantara anak-anak Ibrahim, kemudian memilih Kinanah di antara anak-anak keturunan Ismai’il, kemudian memilih Qurasy di antara Bani Kinanah, kemudian memilih Bani Hasyim di antara Bani Kinanah, kemudian memilih aku di antara Bani Hasyim.[4]  

Dan juga Abbas bin Abdul Muthollib berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menciptakan makhluk, lalu menjadikan aku termasuk dari kelompok mereka yang terbaik. Kemudian, dipilihlah kabilah-kabilah, maka Dia menjadikan aku termasuk dari keluarga yang terbaik. Maka, saya adalah orang yang terbaik di antara mereka, dalam hal pribadi dan keluarga.”[5]

Berikut silsilah keturunan Nabi Saw dari jalur bapaknya: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthollib (namanya Syaibah) bin Hasyim (namanya Amru) bin Abdi Manaf (namanya Mughirah) bin Qushay (namanya Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr (dialah yang disebut Quraisy dan kepadanya penisbatan kabilan Quraisy) bin Malik bin Nadlar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mu’id bin Adnan.[6] Di lain riwayat ada yang menuliskan Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudlor bin Nizar bin Mu’id bin Adnan.[7] Nama Mu’id terjadi perbedaan penulisan, ada yang menuliskan Mu’ad bin Adnan[8] dan Ma’ad.[9] Ibunya bernama Aminah binti Wahab bin Abd’l Manaf bin Zuhroh bin Kilab bin Murrah. Di garis keturunan kelima inilah, yakni Kilab bin Murrah, kedua orang tua Nabi Saw bertemu.[10]

Banyak perbedaan riwayat  yang meyebutkan nasab Rasulullah Saw sampai ke Nabi Ismail a.s. namun, tidak satu pun orang yang berselisih pendapat bahwa Adanan merupakan keturunan Isma’il a.s, mereka hanya berbeda antara Adnan dan Ismai’il.[11]

Imam Thobari mengatakan: “Abdullah adalah ayahanda Rasulullah Saw merupakan anak laki-laki bungsu dari bapaknya. Abdullah, Zubair, Abdi Manaf  yakni Abu Tholib merupakan anak-anak Abdul Muthollib yang seibu. Ini menurut riwayat Ibnu Ishak.[12]

Abdul Muthollib, kakek Rasulullah Saw, menemui Wahab bin Abd Manaf untuk menikahkan Abdullah dengan Aminah. Unikanya, di majlis pernikahan ayahanda Rasulullah Saw, kakeknya pun menikahi Halah binti Uhaib, putri dari pamannya. Karena di masa itu belum ada larangan untuk menikahi anak paman, dan juga sudah menjadi tradisi bangsa Arab tempo dulu memiliki istri lebih dari satu. Jadi,dalam satu Majelis, terdapat dua pernikahan. Yakni pernikahan ayahanda Rasulullah Saw dan kakeknya. Sehingga ketika Aminah binti Wahab melahirkan Rasulullah Saw, Halah pun melahirkan Hamzah dan Sofiyah.[13] Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw lahir dari pernikahan bukan dari perzinahan.

Diantara hal yang berkaitan dengan nasab Nabi Saw ialah, bahwa Muhammad Saw adalah anak dari dua orang yang dikurbankan, Hal ini sebagaimana diceritakan Imam Al Hakim dalam kitab Mustadraknya, dimana seorang Arab datang kepada Rasulullah Saw mengadu prihal masa paceklik. Seru orang Arab tersebut, “Hai anak dua orang yang dikurbankan”. Maka Rasulullah Saw pun tersenyum tanpa membantah panggilan tersebut. Muawiyah pun bertanya, apa itu dua kurban? Bersabda Rasulullah Saw,
Sesungguhnya Abdul Muthallib ketika penggalian Zamzam ia bernadzar, jika Allah Swt mempermudah urusannya maka ia akan mengurbankan sebagian dari anak laki-lakinya, kemudian Abdullah mengeluarkan anak-anaknya dan mengundinya dengan anak panah. Kemudian keluarlah anak panah yang bertuliskan Abdullah, maka Abdul Muthollib pun ingin menyembelihnya, namun saudaranya dari pihak ibu , yaitu dari Bani Makhzum mencegahnya.

Hemat cerita, hadits di atas menunjukkan bahwa Abdullah adalah anak Abdul Muthallib yang akan ia kurbankan. Adapun kurban yang kedua nabi pun bersabda di akhir hadits “ Dan yang kedua adalah Ismail”.[14] Atau dalam riwayat lain disebutkan,“Saya adalah dua orang yang dikurbankan.” “Yaitu Ismail dan Bapaknya Abdullah”.[15] Begitulah setidaknya kondisi bangsa Arab pra Rasulullah Saw dilahirkan, dimana Pola atau sistem sosialnya bersifat paternalistik dan ikatan primordialnya cukup kuat.[16]

2.2. Muhammad Saw sebelum Kerasulan
Diceritakan oleh Imam Muslim dalam Sahihnya dari hadits Abi Qotadah Al Anshari r.a bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, maka beliau pun menjawab: “Di hari itulah saya dilahirkan, dan pada hari itu pula, wahyu diturunkan atasku”.[17] Demikianlah, di hari Senin lahir Muhammad Saw di Mekkah, 9 rabiul awal, tahun pertama terjadinya peristiwa gajah, dan empat puluh tahu masa kekuasaan Kisra Anusyirwan. Hal itu bertepatan dengan 20 atau 22 April 571 M.[18]

Di saat Rasulullah Saw lahir, Ayahandanya sudah tidak berada di sisi Aminah. Terjadi perbedaan riwayat dalam hal ini, ada yang mengatakan Abdullah meninggal sebelum kelahiran Rasulullah Saw, dan ada yang mengatakan dia meninggal dua bulan setelah kelahiran beliau.[19] Adapun harta peninggalannya adalah lima ekor onta, beberapa ekor kambing, seorang budak wanita bernama Barakah yang naman panggilannya Ummu Aiman. Ummu Aiman adalah ibu susu Rasulullah Saw. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi warisan di masyarakat Arab yang tandus sudah ada di zaman sebelum kenabian.

Diantara kondisi nabi Muhammad Saw pasca kelahirannya ialah; Yatim, penggembala kambing,Orang yang dipercaya, dan Ummi (tidak bisa baca tulis). Sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa Abdullah bin Abdul Muthallib meninggalkannya sebelum Rasulullah Saw lahir.

Sesuai dengan adat kebiasaan di kalangan bangsawan Arab, Muhammad Saw hanya beberapa hari disusukan oleh ibunya Aminah. Kemudian Muhammad Saw disusukan oleh  Tsuwaibah selama seminggu. Selanjutnya oleh Halimah, seorang wanita Badui selama empat tahun.[20] Ummu Aiman pun terhitung sebagai ibu susu Rasulullah Saw.[21]

Di masa kecilnya Rasulullah Saw sudah menggembala kambing Bani Sa’ad, kemudian ketika remaja beliau Saw menggembalanya di Mekkah. Begitulah para nabi-nabi sebelumnya diutus, yakni dengan menggembala kambing, termasuk Rasulullah Saw.[22]

Hikmah dari gembala kambing ini, seakan-akan Allah Swt memberikan persiapan kepada Rasulullah Saw berupa kejelian, siap siaga, kesabaran dan ketelitian. Karena penggembala haruslah jeli dan siap siaga menjaga kambing-kambingnya dari hewan liar yang lain, dan dibutuhkan kesabaran yang luar bisa dengan menggiring kambing-kambing tersebut agar tidak membuat kekacauan, juga ketelitian dalam memberikan makan dan minum.

Rasulullah Saw seorang perkerja yang mandiri dengan mata pencarian pengembala, dan pekerjaan itu tidak menjadikan derajat Rasulullah Saw sebagai suku terhormat menjadi rendah.[23]  Dari sini tampak jelas bahwa Allah Swt mendidik kepiawian Rasulullah Saw sebelum masa kerasulan.

Setelah Rasulullah Saw beranjak remaja, masyarakat Quraisy membangun Ka’bah. Sebab Ka’bah tadinya hanya tumpukan batu, tingginya sembilan hasta, sejak masa Ismai’il. Karena ingin merenovasi Ka’bah, maka suku Quraisy bersepakat, yang boleh ikut membangun hanya orang-orang baik. Pezina, rentenir, dan orang yang zhalim tidak boleh ikut membangun. Mereka takut untuk menghancurkan Ka’bah. Kemudian mereka pun membangunnya.[24]Namun, tatkala pembangunan itu sampai pada peletakkan kembali hajar aswad, mereka berelisih siapa yang berhak meletakkannya di tempat semula. 

Perselisihan berlangsung selama empat sampai lima hari, dan memuncak hingga hampir saja menimbulkan peperangan di tanah suci. Dan itu berhasil diselesaikan setelah Umayyah bin al Mughirah al Makhzumi mengusulkan agar mencari penyelesaian dengan jalan menyerahkan keputusan atas persoalan yang dipersilishkan itu kepada orang pertama yang akan mendatangai Ka’bah melalui pintu masjid. Mereka menyetujuinya. 

Atas kehendak Allah, orang pertama yang masuk melalui pintu tersebut adalah Rasulullah Saw. Ketika mereka melihat beliau Saw yang masuk, mereka mengatakan, “inilah dia orang yang terpercaya, kami rela menerima keputusannya; inilah dia Muhammad (Saw).[25] Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw sudah dikenal sebagai orang yeng terpercaya, jauh sebelum masa kerasulan.

Dan yang perlu diketahui, bahwasanya bangsa Arab merupakan bangsa yang Umi, yaitu bangsa yang mayoritas tidak dapat membaca dan menulis. Akan tetapi Allah Swt melimpahkan anugrah yang luar biasa kepada bangsa Arab, yakni dengan kecerdasan akal dan kuatnya hapalan. Hal ini tampak pada kelihaian mereka dalam membuat syair-syair yang mereka buat di kesehariannya, dan tampak pula di penjagaan hapalan mereka terhadap nasab atau garis keturunannya.[26]

Rasulullah Saw disamping lahir dalam keadaan yatim, dari kecil sudah mencari mata pencaharian sendiri dengan mengembala kambing dan mashur dengan kejujurannya di kalangan penduduk pada masa itu, Nabi Saw juga bagian dari masyarakat yang Umi. Hal ini tertuangkan dalam ayat Al-Quran yang maksudnya, “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf (Umi) seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya, benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.[27]

Allah Swt mempunyai rencana yang sangat luar biasa dimana Rasulullah Saw diletakkan di kaum yang mayoritas tidak bisa baca tulis, pernah suatu ketika Rasulullah Saw berbicara mengenai bulan qomariyah, bahwa ianya tidak lebih dari 30 malam dan tidak kurang dari 29 malam. Sebagaimana riwayat Ibnu Umar bahwa Nabi Saw bersabda; “Kita adalah kaum Umi, tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung. Satu bulan itu jumlah harinya segini dan segini, [Rasulullah Saw mengisyaratkan dengan jari-jarinya] yaitu sekali berjumlah dua puluh sebilan dan sekali berikutnya tiga puluh hari[28]

Ketika usia Rasulullah Saw hampir mencapai empat puluh tahun, sementara pengamatan yang senantiasa beliau Saw lakukan telah menadi jurang perpisahan pikiran yang lebar antara beliau Saw dan kaumnya, maka beliau Saw digemarkan (oleh Allah) untuk melakukan khala’ (menyendiri). Dengan berbekal makanan tepung dan air, pergi menyendiri ke gua Hira; di gunung An’ Nur. Letak Gua Hira sekitar dua mil dari kota Mekkah, dan merupakan gua kecil yang panjangnya 4 hasta, dan lebarnya ¾ hasta (satu hasta = 64 cm). Hal ini terjadi di bulan Ramadlan.

Aktifitas Nabi Saw di saat khalwat antaralain memberi makan orang-orang miskin yang datang kepadanya, menghabiskan waktunya untuk beribadah, dan memikirkan hal-hal yang ada di sekitarnya berupa fenomena alam dan kekuatan besar yang ada di baliknya. Ketidak tenangannya terhadap keyakinan-keyakinan yang dianut oleh kaumnya, berikut konsepsi-konesepsiya yang lemah. Namun, dihadapan beliau tidak ada jalan yang jelas, yang dapat menentramkan jiwanya.[29]

Al Hafidz Ibnu Hajar mengomentari khalwatnya Rasulullah Saw, bahwa banyak orang yang menyendiri di gua hira di bulan Ramadlan, dan itu dilakukan oleh kaum Quraisy, sebagaimana mereka melakukan puasa Asyuro. Makanya, mereka tidak menyelesihi Nabi Saw (ketika nabi berkhalwat), karena Abdul Muthollib, kakek Nabi Saw, adalah orang Quraisy pertama yang berkhalwat di gua Hira, dan Rasulullah Saw menyendiri di tempat kakenya menyendiri. Berkata Ibnu Abi Jamroh: “Hikmah dari khalwatnya Rasulullah Saw di gua Hira ialah; memungkinkan untuk melihat ka’bah, maka berkumpul tiga ibadah sekaligus di saat khalwat itu, yakni; Khalwat, Ibadah, dan Melihat Ka’bah”.[30]

Pada waktu menyendiri inilah, Jibril a.s meyampaikan wahyu pertama kepada Muhammad Saw secara tiba-tiba dan menyerunya membaca “Iqra’” Bacalah! dan Rasulullah Saw menjawab “Ma Ana bi Qoori’” artinya: Aku tidak bagus dalam membaca.[31] Dan seterusnya hingga ayat ke lima dari surat Al-Alaq.

2.3. Muhammad Saw (setelah Kerasulan) di Mekah
Berbagai pendapat muncul di awal masa dakwah. Ada yang mengatakan tiga tahun pertama, dakawah Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi.[32] Hal ini menurut riwayat Ibnu Ishak. Namun dalam kajian analisis sirah, Sowabi menyatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah dakwah secara sembunyi-sembunyi, bahkan dari awal Islam, dakwah sudah mulai terang-terangan, hanya saja Nabi Saw menyuruh para sahabatnya untuk diam-diam melakukan ibadah, demi menjaga kesalamat mereka. Namun dakwahnya tetap secara terang-terangan.[33]

Perbedaan dakwah secara sembunyi-sembunyi berimplikasi pada anggapan bahwa kebenaran yang diwahyukan kenapa harus disembunyikan? Hal ini masih perlu kajian lebih lanjut.

Rasulullah Saw mengawali seruan dakwah Islam dan lebih dari enam puluh sahabat yang masuk Islam, dan jumlah tersebut sebelum sentral dakwah Islam berada di rumah Al arqom bin Abi’l Arqom. Diantara mereka yang telah Islam adalah; Ummu’l Mu’minin Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Abu Bakar, Utsman, Zubair, Abduurahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqos, Tolhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abu Salamah, Al-Arqom bin Abi’l Arqom, Ubaidah bin Harits, Sai’id bin Zaid dan istrinya Fatimah, Ibnu Mas’ud, Iyas bin Abi Robiah, Abdullah bin Jahs, Muammar bin Harits, Hathib bin Amru, Waqid bin Abdullah bin Manaf, Utsman bin Madzun dan dua saudaranya Abdullah dan Qudamah,  Amir bin Robi’ah dan Khonis bin Khudzafah.[34]

Di Mekah inilah Rasulullah Saw membentuk karakter para sahabat sebagai kader-kader dakwah Islam yang nantinya sangat berperan mentransformasikan agama hanif ini di masa setelahnya. Tak terelakan, berbagai cobaan didera oleh para sahabat menghadapi tantangan kaum Quraisy, bahkan Nabi Saw sendiri merasakan hal yang sama, walaupun sebelum kerasulan, mereka mengakui sepenuhnya akan kejujuran Muhammad Saw.

Pernah suatu ketika Abu Jahal pamannya sendiri menyakiti Rasulullah Saw dan menghinanya, hal tersebut diketahui oleh Hamzah r.a yang juga paman beliau. Hamzah pun mendatangi Abu Jahal, dan berkata; “Kamu berani memaki-maki kemenakanku, ketahuilah aku telah memeluk agamanya?!”. Akhirnya Allah Swt pun menguatkan umat Islam dengan Hamzah r.a hingga ia mendapat julukan “Singa Allah”.[35]

Tidak lama setelah Islamnya Hamzah r. a. Allah Swt menambah kabar gembira lagi dengan Islamnya Umar bin Khattab r.a, sehingga para sahabat sudah berani shalat terang-terangan di dekat Ka’bah pasca Islamnya Umar r.a. Bahkan ketika Umar memeluk Islam, para sahabat berani mengadakan halaqah di sekitar Ka’bah, melakukan thawaf, membalas orang-orang yang berbuat keras terhadap mereka, dan menolak sebagian perbuatan buruk mereka.[36] Namun demikan, bukan berarti gangguan penduduk Mekah yang belum beriman telah berakhir, karena rintangan yang luar biasa hebat di tanah haram ini, Rasulullah Saw pun meyuruh para sahabat untuk hijrah ke Habasyah. 

Di Habasyah inilah mereka ketemu raja adil beragama Nasrani dan nantinya memeluk Islam. Hal ini dibuktikan dengan shalat nabi ketika kematian raja tersebut; “Sesungguhnya saudara kalian yang saleh dari Habasyah telah meninggal.”sabda Nabi Saw.

Berangnya Quraisy terhadap umat Islam kian bertambah terlebih ketika mereka mengetahui bahwa raja Nasrani di Habasyah yang menjadi sekutu dagang mereka memberikan perlindungan kepada kaum Muslimin, “Silahkan kalian (kaum Muslimin) pergi dengan aman. Siapa pun yang mencela kalian akan didenda. Aku tidak suka menerima emas walau sebesar gunung sebagai imbalan menyakiti salah seorang dari kalian”. Ujar raja Nasrani ini. [37] 

Tidak hanya itu, Bani Hasyim dan Bani Muthollib baik yang muslim maupun yang kafir juga memberikan perlindungan kepada Muhammad Saw di Mekah, hingga kaum musrikin bersekongkol untuk memboikot Muhammad Saw dan siapa saja yang mengikutinya maupun menolongnya, termasuk dari Bani Hasyim dan Bani Muthollib. 

Beberapa kejahatan pun mereka ciptakan, diantaranya ialah; Tidak menikah dengan Bani Hasyim dan Bani Muthallib; Tidak melakukan jual beli dengan mereka; tidak masuk ke dalam rumah-rumah mereka; dan tidak berbicara dengan mereka. Beberapa poin diatas ditulis dalam sebuah naskah perjanjian dan mereka jalankan hingga Rasulullah Saw menyerahkan dirinya kepada kaum musrikin untuk dibunuh.

Peristiwa pemboikotan massal ini akhirnya terhenti ketika naskah perjanjian yang mereka buat ternyata telah rapuh dimakan rayap kecuali kata yang di dalamnya terdapat nama Allah Swt. Kabar rapuhnya naskah ini telah diberitahu Rasulullah Saw sebelumnya kepada Abu Thalib, dan terjadilah dialog antara Abu Thalib dengan para pemboikot mengenai berita naskah yang rapuh tersebut.

Berita yang sampai tersebut memiliki implikasi yang kuat terhadap hubungan Bani Hasyim dan Bani Muthollib dengan kaum musyrikin yang memboikot Rasulullah Saw. Jika berita itu salah maka Rasulullah Saw akan diserahkan kepada kaum musyrikin, namun jika benar maka kaum musyrikin harus menghentikan pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Benarlah berita tersebut jadinya, setelah kaum musrikin melihatnya, Allah Swt pun menunjukkan kebenaran Utusan-Nya di muka bumi. Ternyata naskah yang mereka buat hampir punah dimakan rayap kecuali kata yang bertuliskan “Bismikallahumma”.[38]

Setelah pemboikotan massal berakhir, Rasulullah Saw pun mengalami tahun duka cita. Dimana pada tahun itu, Abu Thalib menjumpai ajalnya, dan Khadijah r.a. pun berpulang ke rahmatullah. Tak ayal lagi, setelah kematian Abu Thalib, kaum musyrikin semakin berani kepada Beliau, hingga Rasulullah Saw pun pergi ke Thaif dengan harapan agar penduduk Thaif mau beriman kepadanya. Wal hasil, fakta di lapangan ternyata jauh dari yang diharapkan Baginda Saw, penduduk Thaif malah menyakiti Beliau Saw dan bahkan lebih parah ketimbang yang diterima dari kaumnya.

Demikianlah gambaran Rasulullah Saw di Mekah setelah masa Kerasulan. Kepergiannya ke Thaif seakan-akan memberikan isyarat untuk mempersiapkan diri dalam hijrah berikutnya, yang mana kaum muslimin secara besar-besaran pergi berbondong-bondong menuju Madinah dengan disusul kemudian oleh Nabi Saw dan Abu Bakar Sidiq r.a.

III.            Rasulullah SAW di Madinah
Hijrah ke Madinah bukanlah hijrah yang serta merta pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Akan tetapi, Rasulullah Saw dan kaum mu’minin sudah mengetahui sebelumnya bahwa mayoritas penduduk Madinah, yang waktu itu bernama Yatsrib, beriman dengan Tauhid yang Nabi Saw sampaikan.

Demikian pesat perkembangan Islam di sana, hingga  Rasulullah Saw dapat leluasa meletakkan dasar-dasar bernegara, mensinergikan akidah dengan ibadah, interaksi sosial antar agama. Seakan-akan Yatsrib menjadi titik balik yang luar biasa bagi dakwah Rasulullah Saw. Dari sini, tidak heran jika jauh-jauh hari Waroqoh berkata; “Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup tatkala kamu diusir oleh kaummu
Bertanya Rasulullah Saw, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqoh menjawab, “Ya. Tak seorangpun yang datang membawa seperti yang kamu bawa kecuali akan diperangi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami hari yang kamu hadapi itu, pasti kamu kubantu sekuat tenagaku.[39]

Menurut J. Suyuthi Pulungan, dalam bukunya Sejarah Peradaban Islam, ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan Islam begitu pesat di Yatsrib. Karena orang-orang Arab di kota itu telah mengetahui akan datangnya seorang Rasul terakhir. Informasi itu mereka tahu dari orang-orang Yahudi. Suku Khazraj dan Aus yang selalu bermusuhan menginginkan munculnya seorang pemimpin yang dapat mempersatukan mereka. Kondisi itu membuat mereka saling berlomba masuk Islam agar tidak didahului orang Yahudi. Di kalangan para pemuka masyarakat setempat tumbuh keyakinan kuat bahwa dengan masuk Islam mereka terbebas dari segala penderitaan akibat permusuhan.

Tidak hanya itu, lanjut penjelasan Jalaludin, sikap tersebut membuat mereka terbuka. Berbeda dengan penduduk Mekah pada umumnya bersikap tertutup. Sebab mereka menilai bahwa agama baru itu akan menghancurkan tradisi-tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, status dan kehormatan. Sedang Islam datang membawa ajaran persamaan diantara segenap manusia.[40]

Masa kerasulan di Madinah atau sering dikenal di buku-buku sejarah Islam dengan nama Periode Madinah ini menyisakan rekaman-rekaman pristiwa dakwah yang sangat penting, diantaranya ialah; Diawal tahun hijrah saja persaudaraan antara pendatang dan pribumi sudah sangat kental, di tahun kedua dari Hijrah pasukan kaum Muslimin sudah meulai berperang diantaranya Perang Badar yang menentukan masa depan kaum Muslimin, sistem ekonomi yang egaliter pun sudah mulai dibangun pada masa itu dengan bentuk zakat dan kenduri besar-besaran yakni disyariatkannya shalat Ied walaupun bagi perempuan yang sedang haid datang untuk menghadiri saja.

Dua tahun dari pristiwa hijrah sudah tampak jelas, betapa pesat perkembangan agama hebat ini. Kendati demikian, Allah Swt selalu mengawal dan menuntun mereka ke jalan dakwah. Hal ini tampak ketika perang Uhud terjadi, dimana banyak para syuhada berjatuhan pada saat itu, dan Allah Swt menurunkan sekitar 60 ayat dari surat Ali Imron, yakni ayat 121 -179, yang membicarakan pristiwa Uhud.[41]

Begitulah setidaknya kejadian di awal-awal periode Madinah. Dan terdapat berbagai rangkaian pristiwa lain pasca perang Uhud tersebut, yang mana rangkaian-rangkaian peritiwa ini mampu membentuk kaum muslimin menjadi pribadi-pribadi unggul pada masa itu. Seperit lahirnya Konstitusi Madinah, atau yang dikenal sebagai Piagam Madinah sebagai rambu-rambu dalam hidup berwarga dan bernegara.

Pentingnya konstitusi tersebut untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara pun terlihat ketika setiap warga, tanpa memandang agamanya, mendapatakn hak jika menjalankan kewajiban yang telah disepakati di Piagam Madinah. Hal ini menjadikan bagsa Arab yang biasanya hidup bersuku-suku,menjadi hidup berjama’ah dalam bendera Islam. Tidak cukup sampai di situ, kabar gembira wahyu bahwa imperium Romawi akan takluk di tangan kaum muslimin, juga kabar bahwa mereka akan memasuki Mekah dengan damai pun menjadi motivasi untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah.

Puncaknya pada Pembebasan kota Mekkah, dimana penaklukan Mekah merupakan kemenagan terbesar Rasulullah Saw, Allah memuliakan agama, Rasul dan para tentaranya yang terpercaya. Dengan pembebasan ini pula, Allah Swt menyelamatkan negeri dan rumah-Nya (Mekah), dimana seluruh penduduk langit pun menyambut kemenangan ini dengan gembira, dan membuat manusia memasuki agama Allah secara berbondong-bondong kata Ibnu Qoyim Al-Jauziyah.

Demikianlah akhirnya perjuangan Rasulullah Saw hingga Allah Swt memindahkannya ke sisi-Nya. Sepeninggalan Rasulullah Saw, setidaknya terdapat perubahan baik di sektor adat-istiadat, kebudayaan, peribadatan, tata pergaulan yang dilandasai dengan Al-Quran dan Hadits. Perubahan itu juga paling tidak, menurut Ahmad Amin terdiri dari dua segi [42]:
1.      Segi Langsung, dimana ajaran-ajaran Islam baik akidah maupun Syariah langsung mengubah kepercayaan banga Arab yang syirik menjadi bangsa yang bertauhid murni.
2.      Segi tak langsung, Islam telah memberi kemungkinan bagi bangsa Arab untuk menaklukan Kerajaan Persia dan daerah-daerah Kloni kerajaan Romawi, dua kerajaan besar saat itu.

Begitu juga perkembangan peradaban Islam masa Rasulullah Saw, baru tampak pada periode Madinah setelah berdiri Negara Madinah yang berlangsung selama kurun waktu sepuluh tahun. Suyuti menuliskan paling tidak ada delapan poin bentuk peradaban yang dibangun di masa Rasulullah Saw, yaitu;
1.      Menata tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan dan sosial politik yang harmonis dengan mempersatukan kaum Anshar dan kaum Muhairin sebagai satu umat melalui persaudaraan di satu pihak, dan mempersatukan antara kaum muslimin dengan komunitas non muslim sebagai satu umat, sehingga menjadi satu bangsa yang berpemerintahan.
2.      Membangun masjid Nabawi sebagai pusat kegiatan umat.
3.      Membudayakan musyawarah di lingkungan masyarakat Islam untuk memecahkan urusan mereka.
4.      Meneruskan budaya menghafal untuk menghafal ayat-ayat Al-Quran.
5.      Membuat tradisi baru, yaitu mencatat dan menulis untuk kepentingan menulis wahyu dan hadits pada benda-benda seperti kulit, tulang dan pelepah kurma.
6.      Mendorong kaum muslimin untuk memiliki kepandaian tulis baca. Hal ini dilakukan oleh Nabi Saw ketika menyikapi para tawanan perang pada pembebasa kota Mekah.
7.      Membangun politik dan pemerintahan berdasarkan undang-indang yang disebut Piagam Madinah.
8.      Membangun pengadilan dan baitul mal yang mengelola keuangan negara dalam hal pemasukan dan penggunaannya.

IV.            Islam Era Khulafaur’ Rasyidin
Pada era empat khalifah besar umat Islam, yaitu: Abu Bakar Sidik, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib –radiyallahu anhum- umat Islam berada dalam masa-masa pembentukan sistem negara yang sesuai dengan Islam, yang mana kerangka dasar dari konsep tersebut sudah diaplikasikan di masa Rasulullah Saw.

Seperti masa Khalifah Abu Bakar Sidiq r.a, dimana para pejabat negara belum mendapat santunan (gaji) dari negara, sehingga di masa Kekhalifahan Umar bin Khatab r.a hal tersebut baru dapat diaplikasikan. Kendati demikan, tradisi musyawarah yang lebih demokratis dalam pemerintahan tetap dibangun di masa kekhalifaha Abu Bakar Sidiq

Begitu juga dengan loyalitas kaum muslimin.benar-benar discreaning oleh Abu Bakar r.a, hal tersebut tampak ketika Abu Bakar r.a menindak tegas sebagian kelompok yang memisahkan diri dari mayoritas umat Islam dan enggan untuk membayar Zakat.Disamping itu, pengumpulan Al-Quran dalam satu tempat pun terasa hasilnya hingga saat ini.

Di masa Umar bin Khattab, Islam tersebar lebih luas dibandingakan masa Abu Bakar Sidiq r.a, dan kaum muslimin masih berada dalam satu kesatuan yang utuh. Banyak hal yang diwariskan dari pemerintahan pemimpin fenomenal ini, diantaranya ialah; menata pranata sosial di bidang politik dan pemerintahan, ekonomi, hukum; membangun irigasi pertanian; membangun gedung-gedung sipil dan pemerintahan; dan tidak ketinggalan, Umar memerintahkan untuk membuat tata baha Arab sebagai pedoman dalam memahami Al-Quran dan Hadis, dan untuk pengajaran Islam di luar Jazirah Arab dikirim para sahabat yang ahli ilmu, sehingga ilmu keislaman berkembang dan melahirkan banyak ulama.[43]

Setelah periode Umar bin Khatab, Utsman pun terpilih secara aklamasi oleh tim formatur bentukan Umar r.a. Di era ini Islam tersebar luas hingga Armenia, Kaukus, Bulukhistan, Afghanistan, Azarbaijan, Kurdistan, Jeart, Tus dan Naisabur, Tunia (Afrika), Tabaristan, Turki, Persia hingga ke Kabul[44]

Tidak hanya itu, Utsman pun mewarisi umat Islam dengan kodifikasi Al-Quran, yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Sehingga perselisihan perbedaan dalam membaca pun teratasi dengan adanya penyeragaman bacaan tersebut.

Periode akhir dari Khulafau’r Rasyidin ditandai dengan berakhirnya masa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana pasca syahidnya Utsman bin Affan menyisakan berbagai problem sosial yang hingga saat ini menjadi perdebatan dalam kajian sejarah umat Islam. Para ahli sejara memberi istilah, fitnah al-Kubra atau Fitnah yang besar untuk pristiwa syahidnya Utsman bin Affan.

Fitnah tersebut berimplikasi kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib, sehingga di periode akhir khilafah ini, terjadi perselisihan Sifin dan Jamal yang tak terelakkan. Namun demikian, ekspansi Islam pun tetap berjalan

V.            Penutup
Akhirnya, semoga uraian di atas dapat merangsang kita semua untuk terus menekuni dan mengkaji kembali sejarah dan peradaban Islam pada era-era awal berdirinya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, mudah-mudahan kekurangan yang ada dapat menjadi bahan diskusi yang bernilai positif nantinya.















Daftar Pustaka
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah At Tirmidzi, Sunan At Tirmidzi 2005. Daarul Hadits, Kairo
Amin, Samsul Munir, 2002. Sejarah Peradaban Islam, Amzah, Jakarta.
Muhammad, Ali Jum’ah,2010.  Man Nabiyyuka? Huwa Sayyiduna Muhammad Al Musthofa       Daaru’l Jawaami’il Kalam, Kairo
Musayyar , Muhammad Sayid Ahmad, 1987. Ar’ Rasul wa’l Wahyu. Daaru’l Ibnu Katsir, Beirut
 Pulungan, J. Suyuthi, Sejarah Peradaban Islam 2012. Grafika Telindo Press Palembang
Sahih Bukhari, Kitab Shoum Bab Sabda Nabi Saw. “Kami (kaum) yang tidak bisa menulis dan juga tidak menghitung
Showabi,Sa’id Muhammad Shaleh, 2008. Alma’inu’r Raiqu Min Siirati Khoiri’l Khalaiq  hal. 27 Mat’hba’ah Riswan, Mesir
Syaikh Syafiyyur Rahman Al-Mubarakfury, Arrahiqul Makhtum Sejarah Hidup Muhammad (Saw) Sirah Nabawiyah 2002 hal. 46 Robbani Press, Jakarta
http://www.republika.co.id/


No comments: