Friday, March 8, 2013

Sejarah Perkembangan Syiah


Oleh : Andy Hariyono

I.              Pendahuluan
Bismillah. Berpindahnya Rasulullah Saw ke sisi Sang Khalik meninggalkan beberapa tugas (amanah) kepada umat Islam, terutama dua hal yang sangat berkaitan dengan kehidupan dunia dan akhirat kelak; Al-Quran dan Sunah. Karena kedua warisan Nabi Saw tersebutlah yang nantinya diterima umat Islam dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, sehingga timbul perbedaan ijitihad dalam memahami agama.

Sebagai misal sederhana perbedaan termaksud ialah; Di ranah akidah kita mengenal adanya pembagaian tauhid menjadi uluhiyah, rububiyah, asma dan sifat, namun di lain sisi terdapat ulama yang berpandangan tidak perlunya pembagian tersebut; Di ranah fikih kita mengenal paling tidak empat imam mazhab fikih yang berbeda pendapat dalam menggunakan dalil syar’i; Dan perbedaan-perbedaan yang lain.

Diawali dengan perbedaan cara pandang terhadap kedua perangkat itulah muncul berbagai kelompok, sekte, atau golongan yang berbeda pula dalam tubuh umat Islam. Sebagai contoh, muncul diantaranya; Sunni, Syiah, Muktazilah, Khawarij, Jabariyah, Qodariyah dan lain sebagainya.

Pada kesempatan kali ini, penulis hanya akan menyinggung salah satu bagian dari golongan yang tersebut di atas, yaitu Syiah. Agar lebih terarah diskusi ini nantinya, ijinkan penulis memberikan gambaran sederhana mengenai: 1) Sejarah munculnya Syiah. 2) Tokoh-tokoh Syiah. 3) Sekte-sekte Syiah serta ajaran-ajarannya. 4) Buku-buku Syiah.


II.            Sejarah Munculnya Syiah
Agar mempermudah kita untuk mengenal ajaran Syiah, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai sejarah munculnya istilah “syiah” itu sendiri. Karena dengan mengetahui latar belakang berdirinya suatu pembahasan, berharap dapat membantu dalam memahami objek pembahasan termaksud.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia[1] versi Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia, sejarah ialah; 1. asal-usul (keturunan) silsilah; 2. Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; 3. Pengetahuan atau uraian tentang peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau. Adapun “Syi’ah” berasal dari bahasa arab yang berarti pengikut, sehingga belakangan istilah Syiah ini identik dengan nama sebuah kelompok dalam Islam yang mendukung  (pengikut) Imam Ali r.a.

Merujuk pengertian di atas, penulis hendak menyajikan di awal pembahasan ini mengenai asal-usul munculnya istilah Syiah. Dalam artian, sejak kapan Syiah menjadi nama sebuah kelompok dalam umat Islam?

Menjawab pertanyaan itu, penulis hendak mengajak pembaca yang budiman untuk merunut kembali ingatan mengenai sirah nabawiyah dan para sahabat r.a.

Pada awal pertumbuhan Islam, al-Quran memerintahkan manusia untuk beriman kepada Allah Swt, para malikat, rasul-rasul a.s, kitab-kitab, hari akhir juga takdir. Kesemua perintah tersebut diterima para sahabat r.a dengan lapang dada dan tanpa banyak tanya. Panggilan keimanan atau dalam istilah lain akidah ini merupakan seruan yang sangat dominan dalam al-Quran hingga surat terakhir turun. Hal tersebut tampak dalam al-Quran dimana ayat-ayat yang turun berkenaan dengan hukum syar’i tidak lebih banyak dari 600 ayat, sedangkan sisanya al-Quran berbicara mengenai akidah dan perangkat-perangkatnya.

Sedangkan Nabi Muhammad Saw menyampaikan dan menjelaskan wahyu al-Quran yang turun seperlunya saja, termasuk menjawab pertanyaan para sahabat r.a seputar wahyu. Dan yang lebih unik lagi, Nabi juga menjawab melalui wahyu mengenai beberapa pertanyaan kaum Musrik (politeis) maupun para Ahli Kitab. Sehingga setelah misi ketauhidan sudah sempurna dipahami dan dimengerti oleh para sahabat r.a, Allah Swt pun memindahkan Baginda Saw ke sisi-Nya.

Sampai di sini, umat Islam masih berada di bawah bendera kesatuan umat, hingga masa Abu Bakar Sidiq r.a. berakhir. Dan istilah Syiah sebagai sebuah kelompok pun belum terdengar pada saat itu.

Memang pernah terjadi konflik agama di masa Abu Bakar Sidiq r.a berupa pemurtadan dan penolakan atas pembayaran zakat, namun Khalaifah pertama pengganti Rasulullah Saw ini langsung menindak tegas mereka sehingga tidak ada lagi konflik kesatuan umat, sampai Islam tersebar luas di masa Umar bin Khottab r.a.

Setelah masa kedua khalifah –radiyallahuanhuma- diatas, muncullah oknum pembunuh Si Pemilik dua Cahaya, Utsman bin Affan r.a (35 H). Setelah terjadi pembunuhan khalifah ketiga umat Islam inilah, mulai beruntut kejadian-kejadian pemecah belah umat hingga Perang Jamal (36 H) dan Perang Siffin (37 H) pun tak terelakkan. Setelah peperangan, pasukan khalifah Ali r.a terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu; Kelompok Syiah yang memandang bahwa Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah Saw; Kelompok Khawarij yang menjadi problem sosial baru kala itu; dan Kelompok Murjiah yang menyerahkan segala pertikaian kepada Allah Swt.[2]

Dari sana dapat kita temukan munculnya istilah “Syiah” yang dinisbahkan kepada kelompok pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Perlu dipertimbangkan juga, banyak perbedaan pendapat ahli sejarah mengenai sebab munculnya kelompok Syiah ini, tidak cukup dengan uraian di atas.

Diantaranya, ada pendapat yang mengatakan bahwa munculnya Syiah merupakan pengaruh dari tradisi di Persia yang memuliakan raja, sehingga hal tersebut ditransformasikan kedalam Islam untuk mengagungkan para imam ahlu’l bait (Keluarga Rasulullah Saw). Ada juga yang berpandangan bahwa Syiah muncul karena adanya sempalan oknum Yahudi bernama Abdullah bin Saba’, yang berpura-pura masuk Islam hanya karena ingin memecah belah umat.[3]

Namun, Abdul Halim Mahmud, yang di masa hidupnya pernah menjabat sebagai Syaikh Al-Azhar, membantah pernyataan di atas dengan mengatakan bahwa, kemunculan Syiah bahkan jauh sebelum Abdullah bin Saba’ atau pengaruh Persia bersinggungan dengan Islam. Hal tersebut tampak pada personalitas Ali bin Abi Thalib r.a sendiri maupun hubungannya dengan Nabi Saw[4], bahkan sebelum risalah Islam (wahyu) diturunkan.

Sehingga, masih menurut Abul Halim Mahmud, pada awalnya “Syiah” hanyalah rasa cinta terhadap ahlul bait (keluarga Rasulullah Saw) semata, sebagaiamana cintanya sahabat Salman Al-Farisi r.a kepada ahlu’l bait. Kemudian rasa cinta tadi berkembang menjadi kasihsayang yang berlebihan tatkala para Ahlul Bait tidak mendapatkan kedudukan yang semestinya di masyarakat, dan setelah itu syiah pun menjadi berlebih-lebihan, hingga menjadikan nash agama sesuai dengan kehendaknya, dan menjadi sebuah kelompok yang kita kenal sekarang. Dengan demikian, Syiah lahir secara alamiah dan berkembang secara alamiah pula.[5]  

Sedangkan Ali Sami Nasyar menyinggung istilah “Syiah” secara bahasa muncul pasca syahidnya khalifah Utsman bin Affan r.a, yakni ketika khalifah keempat umat Islam ini menyatakan bahwa pengikutnya adalah “syiah”. Akan tetapi, di saat yang sama pula, Muawiyah yang pada masa itu berselisih dengan Ali r.a juga menamakan pengikutnya dengan sebutan “syiah”[6]. Hal ini menunjukkan bahwa istilah “syiah” pada waktu itu hanyalah penyebutan secara bahasa saja, belum menjadi sebuah kelompok (mazhab) keagamaan.

Istilah “syiah” menjadi nama sebuah kelompok keagamaan muncul pasca syahidnya Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimana sebelumnya terkenal dengan nama aS-Syiah al-Husainiyah yang nama tersebut dipopulerkan oleh Almukhtar bin Abi Ubaid Atsaqofi. Dan juga pada saat itu banyak pengikut Almukhtar di Kufah.

Di kufah inilah, sepeninggalan Almuktar bin Ubaid Atsaqofi, kata “syiah” menjadi sebuah nama bagi sebuah mazhab ilmu kalam di tengah-tengah umat Islam dan meletakkan dasar-dasar ajaran Syiah walaupun belum sempurna, karena hal tersebut mulai menjadi satu ajaran yang utuh di masa Imam Ja’far As-Sodiq.[7]

Melihat perbedaan mengenai munculnya Syiah di atas, setidaknya dapat kita simpulkan bahwa kemunculan Syiah, terlepas secara bahasa maupun kelompok, sudah kita kenal di era awal umat Islam ini. Dan berkembang hingga menjadi sebuah paham kelompok dalam agama Islam yang kita ketahui sekarang.

III.            Tokoh-Tokoh Syiah
Tokoh secara bahasa adalah; 1. Rupa (wujud dan keadaan); macam atau jenis; 2. Bentuk badan; 3. Orang yang terkemuka dan kenamaan; 4. Pemegang peran  (peran utama) dalam roman atau drama[8]. Adapun tokoh yang penulis maksud di sini ialah, orang yang terkemuka dan kenamaan dalam kelompok Syiah.

Mengingat banyaknya kelompok-kelompok di dalam paham Syiah sendiri, menjadikan tokoh-tokoh yang ada pun sangat beragam. Perlu diketahui sebelumnya, bahwa penulis hanya memaparkan nama-nama tokoh yang sering di sebut dalam kajian Syiah di beberapa buku, bukan berdasarkan tahun ataupun kelompok-kelompok yang ada di Syiah itu sendiri. Sehingga para pembaca dapat merujuk ke buku-buku bacaan tersebut nantinya, dan membandingkan dengan buku yang lain, bahwa setiap pengkaji Syiah, setidaknya tidak terlepas dari nama-nama itu.

Menurut Abu Hasan Al-Asyari adalah, Bayan bin Sam’an, Abdullah bin Muawiyah bin Abdullah bin Ja’far, Abullah bin Amru bin Harb, Almughiroh bin Sa’id, Abu Mansur Al’Ijli, Abu Khitob bin Abi Zainab, Muhammad bin Alhanafiyah, Abu Karb Ad Doriri, dll.[9]

Adapun beberapa tokoh yang disebutkan oleh Abdul Qohir Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-farqu baina’l Firoq ialah; Abil Jarud Ziyad bin Abil Ziyad, Sulaiman bin Jarir Azzaidi, Hasan bin Solih bin Hay, Almukhtar bin abi Umaid Atsaqofi, Abu Kamil, Muhammad bin Ali (Al-Baqir), Yahya bin Syamith, Ammar, Ismail bin Ja’far, Musa bin Ja’far, Hisyam bin Hakam, Hisyam bin Salim Aljawaliki, Yunus bin Abdirrahman Al-Qumi, Muhammad bin Nu’man Arrafidli.[10]

Lain dari kedua tokoh di atas, Muhammad Mahdi Almusawi Alasfahani Alkadzimi pun menulis buku yang berjudul, Ahsanul Wadi’ah Fi Tarojum Asyhuru Masyahiri Mujtahidi As’Syiah, yang berisikan kumpulan nama-nama tokoh Syiah, diantaranya; Sayid Shodiq bin Sayid Hasan Alhusaini (1209 H), Sayid Ahmad bin Sayid Muhammad bin Sayid Ali Alhusaini Albaghdadi (1215 H), Sayid Dildar Ali Alhindi (1235 H), Allamah Mirza Muhammad bin ‘Inayat Ahmad Khan Alkasmiri Ad’Dehlawi (1235 H), Sayid Haidar Alhasani Alkadzimi, Sayid Ahmad bin Sayid Haidar Alkadzimi, Sayid Murtadho Ali Sayid Haidar Alkadzimi, Sulthonu’l Ulama bin Sayid Dildar, Sayid Muhammad Baqir bin Sulthonu’l Ulama, Sayid Ali Akbar bin Sulthoni’l Ulama, Alhaj Sayid Asadullah Alasfahani, Sayid Ibrahi At Taba’tabai, Sayid Abid Husain Alhindi, Syaikh Muhammad bin Ali bin Ja’far Kasyifi’l Ghitho, Mirza Muhamad Hamdani Alkadzimi, Mirza Muhammad Husain As’ Syahratani, Mirza Muhamad Hasan As Syairozi, Syaikh Muhammad Ali Alqumi, Syeikh Muhammad Kadzim As’ Syairozi, Muhammad Ali An Nakhjawani dan yang lainnya.

IV.            Sekte (Mazhab) Syiah dan Ajarannya
Kata sekte dalam bahasa Indonesia berarti kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh penganut pandangan agama tersebut: Mazhab.[11]

Sedangkan dalam bahasa arab, banyak kata yang mewakili kata sekte, diantaranya; قزقة  (firqoh), حزب  (Hizb), مذهب (Madzhab), dan طا ئفة (Thoifah). Namun dalam buku-buku berbahasa arab, nama firqoh sering dinisbahkan kepada kata Syiah, Khawarij, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Sebaliknya, sangat jarang (?) kita mendengar kata firqoh Syafi’iyah, firqoh Malikiyah, firqoh Hanafiyah dan yang lainnya.

Apakah itu berarti ada penggunaan khusus untuk padanan keempat kata di atas? Masih perlu penelitian.

Di dalam Syiah sendiri terdapat banyak kelompok yang hampir tidak dapat diditeksi jumlahnya,[12] Kesemua pembagian itu terjadi karena perselisihan mengenai hal kepemimpinan.[13] Namun demikian, mungkin pembagian Syiah versi Abdul Qohir Albaghdadi (429 H/1037 M) menjadi empat bagian[14], dalam kitabnya Al-Farqu baina’l Firoq, dapat membantu kita memahami perkembangan Syiah hingga saat ini. Keempat Syiah termaksud ialah:
1.      Syiah Zaidiyah
2.      Syiah Imamiyah
3.      Syiah Kaisaniyah
4.      Syiah Ghulat

Kesemua kelompok di atas, kecuali Kaisaniyah dan Ghulat, terbagi lagi menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian-bagian dari kelempok tersebut saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya. Adapun Syiah Ghulat, dalam hal ini tidak termasuk dalam katagori bagian dari umat Islam.[15] Sedangkan Syiah Imamiyah dan Zaidiyah masih terhitung dalam katagori umat Islam.

Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Husain Ali Kasyif Al Githa’, bahwa Syiah Imamiyah, yakni Syiah yang tersebar di Irak, Iran, India, Siria, dan Afganistan “berlepas diri” dari (paham) mereka.[16] Bahkan Imam besar Universitas Al-Azhar, Syekh Abudul Halim Mahmud memaparkan penelitian Muhammad Husain tersebut mengenai Abdullah bin Saba’, seorang Syiah yang dinyatakan sesat oleh pengikut syiah.
Adapun Abdullah bin Saba’yang disebut bagian dari Syiah, maka ini buku-buku (Syiah) yang kesemuanya menghujat Abdullah bin Saba’, dan berlepas diri darinya. Bahkan kalimat paling sopan (yang disematkan untuk Abdullah bin Saba’) dalam buku-buku Rijal (Syiah) ialah kata ‘laknat’.[17]

Selanjutnya, berikut pembagian Syiah menurut Albaghdadi di atas.
1.      Syiah Zaidiyah
Zaidiah adalah nama sekte di Syiah yang mengikuti Imam Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib r.a. (80 H), dan dikenal lebih dekat dengan Ahlussunah Wa’l Jama’ah. Ayah Imam Zaid meninggalkannya kala ia berusia 14 tahun, kemudian kakaknya Muhammad Baqir pun mengasuhnya. Disaat itu, Muhammad Baqir juga mempunyai anak yang seusia dengan Zaid bernama Ja’far As Sodiq. Sekte Zaidiyah ini beraggapan bahwa kepemimpinan (imamah) haruslah dari keturunan Fatimah r.a.[18]

Kabarnya, Imam Zaid menuntut ilmu dari ayahnya Zainal Abidin dan kepada kakaknya Muhammad Baqir sepeninggalan bapaknya. Di usianya yang terhitung masih muda ia pun menuntut ilmu ke Kufah dan Basrah, di Basroh inilah Zaid bertemu dengan Wasil bin Atho sang pelopor Mu’tazilah.

Diantara ajaran dari Syiah Zaidiyah adalah, membolehkan pemimpin yang baik walaupun ada yang lebih baik atau lebih dikenal dengan sebutan “Imamatu’l Mafdlul ma’a Wujudi’l Afdlal”.[19] Itu artinya Imam Zaid mengakui kepemimpinan khalifah-khalifah sebelum Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.

2.      Syiah Imamiyah
Syiah Imamiyah adalah Syiah yang meyakini bahwa tampuk kepemimpinan setelah Nabi Muhammad Saw ialah Ali bin Abi Thalib, dan itu diakui (diyakini) dengan nash-nash yang ada. Itu artinya, kepemimpinan setelah nabi adalah tauqifi, sudah ditentukan oleh Nabi Saw. Disebut “Imamiyah” karena “menashkan” kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.[20]

Tidak semua Syiah Imammiyah merupakan Syiah Imam Dua Belas yang banyak dikenal dewasa ini.[21] Syiah Imamiyah sendiri terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya; Kalamiyah, Muhamadiyah, Baqiriyah, Nausiyah, Syamaitiyah, Ammariyah, Ismailiyah, Musawiyah, Qotiyyah, Itsna Asyariyah, Hisyamiyah, Zuroriyah, Yunusiyah dan Syaitoniyah.[22]

Namun demikian, Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah dan Syiah Ismailiyah lebih banyak dikenal di era ini. Perbedaan diantara keduanya ialah mengenai pemimipin setelah Imam Ja’far As’ Sodiq. Syiah yang meyakini Musa Alkadzim sebagai imam setelah Ja’far As Sodiq adalah Syiah Imamiyah Itsna Asyariah, sedangkan Syiah yang meyakini Ismail sebagai pemimpin Setelah Ja’far As’ Sodiq disebut Syiah Ismailiyah.[23]

Syiah Imamiyah banyak tersebar di Irak, Iran, India, Siria dan Afganistan, kebanyakan (?) orang mengecam Syiah dari iran yang beraliran Imam Dua Belas ini. Namun Syekh Husen Ali Kasyif Al-Ghito meyatakan bahwa, Syiah Imam Dua Belas mereka beragama Tauhid dan berlepas diri dari Syiah Ghulat.[24] Adapun Syiah Ismailiyah banyak tersebar di India, Pakistan, Afrika Selatan dan Afrika Timur.[25]

3.      Syiah Kaisaniyah
Kaisaniyah ialah nama sekte Syiah yang meyakini bahwa kepemimpinan setelah Ali bin Abi Thalib beralih ke anaknya Muhammad bin Hanafiyah. Para ahli berselisih pendapat mengenai pendiri Syiah Kaisaniyah ini, ada yang berkata ia adalah Kaisan bekas budak Ali bin Abi Thalib r.a. Ada juga yang berkata bahwa ia adalah Almukhtar bin Abi Ubaid yang memiliki nama lain Kaisan.[26]

Diantara ajaran dari Syiah Kaisaniyah ini ialah, mengkafirkan khalifah yang mendahului Imam Ali r.a dan mengkafirkan mereka yang terlibat perang Sifin dan Perang Jamal (Unta), dan Kaisan mengira bahwa Jibril a.s mendatangi Almukhtar dan mengabarkan kepadanya bahwa Allah Swt menyembunyikan Muhammad bin Hanafiyah.[27]

Sekte Kaisaniyah ini terbagi menjadi beberapa kelompok, namun kesemuanya kembali kepada dua paham yang berbeda yaitu: 1. Meyakini bahwa  Muhammad bin Hanafiyah masih hidup. 2. Meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah telah tiada, dan jabatan kepemimpinan beralih kepada yang lain.[28]  

4.      Syiah Ghulat
Syiah Ghulat ialah Syiah yang berlebih-lebihan (ekstrim) dalam memandang Imam Ali bin Abi Thalib r.a. maupun imam-iman setelah Ali r.a. Mereka memandang para imam termaksud bukanlah manusia biasa, bahkan Ali bin Abi Thalib r.a disebut mereka sebagai Tuhan. Hal inilah yang menyebabkan Syiah Ghulat ini dinyatakan keluar dari bagian umat Islam oleh Albaghdadi, begitu pula Syiah Imam Duabelas menurut Syekh Husein Ali Kasyif Al Ghito.

Syiah ekstrim ini dapat muncul di dalam syiah-syiah yang sebelumnya, seperti Zaidiyah, Kaisaniyah dan Imamiyah. Adapun nama-nama mereka diantaranya ialah Al Khitobiyah, Al Ghorobiyah, Al Ulyaniyah, Al Mukhommisah, Al Bazi’iyah dan lain sebagainya.

V.            Buku-Buku Syiah
Berikut penulis sampaikan beberapa buku mengenai Syiah yang direkomendasikan oleh Ali Sami Nasyar dalam bukunya Nasyaatul Fikri Alfalsafi fi’l Islam (Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam). Diantara buku-buku tersebut ialah; 1. Firoq Syiah (Sekte-sekte Syiah) oleh Abu Muhammad Alhasan bin Musa An Nubakhti (310 H/ 922 M), buku ini membahas mengenai akidah-akidah Syiah; 2. Al Maqolaat Al Firoq oleh Abu Kholaf Al Asya’ari Al Qumi (300 H); Minhajul Karomah fi Ma’rifati’l Imamah oleh Ibnu Mutohhar Al Hilli (726 H); Awaili’l Maqolat fi’l Madzahibi wa’l Mukhtarat oleh Syekh Mufid Muhammad Nu’man (413 H).[29]

VI.            Penutup
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini, semoga uraian sederhana mengenai Sejarah kemunculan Syiah, Tokoh Syiah, Sekte-sekte di dalam Syiah dan beberapa buku Syiah di atas dapat mengantarkan ke pengkajian yang lebih mendalam.













Daftar Pustaka
Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad Al-Baghdadi,1995. Alfarqu baina’l Firoq, Maktabah Al-‘Asriyah, Beirut
Abu Su’ud, Solah, 2004. As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, Maktabah Nafidah, Giza.
Al Ghito, Muhammad Husain Ali Kasyif, 1990. Aslu Syiah wa Usuluha, 1990 Daarul Adlwa, Bairut, Libanon.
Al-Asyari, Abul Hasan Maqolatul Islamiyin.pdf
Ibrahim, 2006.Tuhfatu’l Murid ala Jauharotu’t Tauhid. Kairo
Mahmud, Abdul Halim, 2006. At Tafkir Al Falsafi fi’l Islam, Makatabah Iman, Kairo
Musayar, Muhammad Sayid Ahmad, 1997.Alhiwar baina’l Jamaati’l Islamiyah Daaru’t Toba’ah Al-Muhammadiyah, Kairo.
Nasyar, Ali Sami, Nasya’atu’l Fikri al-Falsafi fi’l Islam. Vol. 2 Daarul Ma’arif Kairo
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php



[1] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
[2] Imam Ibrahim bin Ibrahim bin Hasan al-Laqoni, Arjuzatu Jauharotu’t Tauhid disyarah oleh Imam Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri dalam Tuhfatu’l Murid ala Jauharotu’t Tauhid ditaklik oleh Tim Penyusun dari fakultas Akidah dan Filsafat Univ. Al-Azhar As- Syarif. hal.7-8 Tahun 2006
[3] Abul Halim Mahmud, At Tafkir al-Falsafi fi’l Islam. Hal. 96 Maktabah Iman, Kairo. Tahun 2006
[4] Ibid. Hal. 97
[5] Ibid. Hal. 102
[6] Dr. Ali Sami Nasyar, Nasya’atu’l Fikri al-Falsafi fi’l Islam. Vol. 2 hal. 32 Daarul Ma’arif Kairo
[7] Ibid. Vol. 2 Hal 35
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
[9] Abu Hasan Al-Asyari, Maqolatul Islamiyin.pdf. Hal. 5
[10] Abdul Qohir bin Thohir bin Muhammad Al-Baghdadi, Alfarqu baina’l Firoq. 1995 Ditahkik oleh Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid . hal. 29
[11] Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
[12] Abdul Halim Mahmud, Op.Cit.
[13] Prof. Dr. Muhammad Sayid Ahmad Musayar, Alhiwar baina’l Jamaati’l Islamiyah 1997 hal. 118 Daaru’t Toba’ah Almuhammadiyah, Kairo.
[14] Abdul Qohir Albaghdadi, Op. Cit. Hal. 21
[15] Ibid.
[16] Muhammad Husain Ali Kasyif Al Ghito, Aslu Syiah wa Usuluha, 1990 Daarul Adlwa, Bairut, Libanon.
[17] Abdul Halim Mahmud, Op. Cit. hal. 103
[18] Solah Abu Su’ud, As’ Syiah An Nasyaah As Syiasiyah wal Aqidah Ad’ Diniyah, 2004 Maktabah Nafidah, Giza.
[19] Dr. Ai Sami Nasyar, Op. Cit. hal. 130
[20] Dr . Abdul Halim Mahmud, Op. Cit. hal. 104
[21] Ibid. Hal. 161
[22] Abdul Qohir Albaghdadi, Op. Cit. hal. 55
[23] Dr . Abdul Halim Mahmud, Op.Cit. Hal. 161
[24] Muhammad Husain Ali Kasyif Al Ghito, Op. Cit. hal. 112
[25] Abdul Halim Mahmud, Op. Cit. hal.2006
[26] Sholah Abu Su’ud, Op. Cit. Hal. 158
[27] Ibid. Hal. 158
[28] Abdul Qohir Albaghdadi, Op. Cit. Hal. 23
[29] Dr. Sami Ali Nasyar, Op. Cit. hal. 399

No comments: